Tuesday, 26 May 2020

Makalah Retorika Dakwah Sunan Bonang



RETORIKA DAKWAH
“SUNAN BONANG”
.
.
.

KATA PENGANTAR


            Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subahanahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah retorika dakwah, dengan judul ”Sunan Bonang”.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini serta sumber-sumber yang penulis ambil sebagai referensi. Makalah ini membahas mengenai Sunan Bonang, dari mulai biografi hingga metode penyebaran dakwah yang beliau lakukan, yang mana pembahasan ini dikutip dari beberapa sumber terpercaya, seperti buku, jurnal, maupun tesis, dengan harap pembaca bisa lebih percaya dan yakin dengan penjabaran yang telah penulis paparkan.
            Dengan segala hormat, sebagaimana manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan didalamnya.. Oleh karenanya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan pada tugas-tugas selanjutnya. Terakhir, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik kalimat maupun kata yang kurang berkenan.
            Demikian yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini. Terimakasih.


Semarang, 3 Desember 2019


Penyusun




DAFTAR ISI









BAB I

PENDAHULUAN


Dakwah merupakan satu pilar pokok bagi terpeliharanya eksistensi Islam di muka bumi. Di tanah Jawa, dakwah telah berjalan berabad-abad tahun yang lalu, yaitu melalui peran Walisongo. Dakwah Walisongo bertujuan untuk mengajak dan menggerakkan manusia agar mentaati ajaran-ajaran Islam sesuai dengan garis-garis aqidah, syari’at dan akhlak Islamiyah, termasuk amar ma’ruf nahi munkar di bumi Nusantara.
Proses Islamisasi Jawa merupakan rantai estafet dakwah yang dilakukan oleh Walisongo. Secara bertahap wali-wali yang berjumlah sembilan itu menyebarkan Islam ditengah-tengah masyarakat yang notabene berpenganut Hindu-Budha. Berkat metode-motode penyebaran Islam yang disesuaikan dengan kultur agama dan budaya masyarakatnya, Islam dapat diterima dengan damai dan tanpa paksaan.
Dalam makalah ini akan mengupas tuntas salah satu wali sembilan, yaitu Sunan Bonang, yang mana beliau dijuluki sebagai “Sang Seniman” akibat metode dakwahnya yang unik dan disesuaikan dengan budaya masa itu. Melalui suluk dan syair beliau menyebarkan Islam, yang mana cara ini memudahkan pemahaman bagi para jama’ah dakwahnya.

1.    Siapakah Sunan Bonang?
2.    Kapan Sunan Bonang menyebarkan Islam?
3.    Dimana sasaran dakwah Sunan Bonang dalam menyebarkan Islam?
4.    Apa karya sastra peninggalan Sunan Bonang dalam menyebarkan Islam?
5.    Mengapa Sunan Bonang dijuluki sebagai “Sang Seniman”?
6.    Bagaimana metode Sunan Bonang dalam menyebarkan Islam?

1.      Mengetahui biografi Sunan Bonang.
2.      Mengetahui masa penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Bonang.
3.      Mengetahui sasaran dakwah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Bonang.
4.      Mengetahui karya sastra Sunan Bonang dalam menyebarkan Islam.
5.      Mengetahui filosofi julukan “Sang Seniman” bagi Sunan Bonang.
6.      Mengetahui metode penyebaran Islam yang dilakukan oleh Sunan Bonang.

BAB II

PEMBAHASAN

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW. Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putra Adipati Tuban bernama Arya Teja.[1] Sunan Bonang memiliki 5 saudara kandung, yaitu Siti Syari’ah, Sunan Drajat, Sunan Sedayu, Siti Muthmainah, dan Siti Hafshah.
Sunan Bonang merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW, yang mana nasabnya sebagai berikut, Sunan Bonang bin Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Fqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.[2]
Bonang adalah nama sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang adalah Liem Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Shi Hoo alias Sunan Ampel. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada bulan muharram tahun 1456. Putera Sunan Ampel ( Raden Rahmat) dan Dewi Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Sunan boning memiliki dua saudara (adik), yaitu nyai Gede Maleka dan Syarifuddin (Sunan Drajat).[3]
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit. Sebagai seorang wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama setanah jawa, tentu saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.[4] Sejak kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan disiplin. Sudah bukan rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempa dan Surabaya.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Perihal kuburannya yang ada dua ini disebabkan karena Sunan Bonang sering dakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal dunia saat berdakwah di Pulau Bawean. Ketika berita menyebar ke seluruh tanah Jawa, para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazahn beliau dimakamkan didekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal memberikakan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang Bawean mau ditambah lagi dengan kain kafan milik Surabaya.
Pada malam harinya, orang-orang Surabaya dan Madura menggunakan ilmu sirep untuk membuat ngantuk orang-orang bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke kapal layar yang bergerak kearah Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang dipergunakan tidak bisa bergerak . Akhirnya jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban. Sementara kain kafannya yang ditinggal di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Oaring-orang Bawean pun menguburnya dengan penuh khidmad.
Dengan demikian ada dua jenazah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusushan diantara murud-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli adalah yang berada dikota Tuban sehingga sekarang makam itu banyak diziarahi oleh orang-orang dari dari penjuru tanah air.[5]

Masa penyebaran Islam oleh Sunan Bonang terjadi seumur hidup beliau Adapun informasi terkait tentang masa hidup dan wafatnya Sunan Bonang, bahwa Sunan Bonang merupakan generasi muda dari dewan Walisongo yang ada.  Sunan Bonang lahir di daerah Bonang, Tuban, Jawa Timur pada bulan Muharram tahun 1465 Masehi dan kemudian wafat pada tahun 1525 Masehi di Kampung Tegal Gubug, Pulau Bawean, Jawa Timur.[6] Jadi bisa diakumulasikan bahwa Sunan Bonang mendakwahkan Islam selama 60 tahun.

Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Sedangkan, Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempa dan Surabaya.
Selama masa dakwahnya di Bonang, Tuban, Sunan Bonang mendirikan pusat dakwah dengan menyesuaikan adat Jawa yang hingga saat ini dikenal dengan nama pesantren. Pada saat itu pesantren yang didirikan sangatlah terkenal, hal ini terbukti dengan santrinya yang berasala dari berbagai penjuru Nusantara. Bahkan dari pulau Jawa juga sangat banyak. Dari sekian banyak santri Sunan Bonang, salah satu yang terkenal serta menjadi sahabatnya yaitu Sunan Kalijaga.
Bahkan menurut beberapa sumber, penyesuaian adat Jawa ke Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang merupakan penanggung jawabnya. Dalam mengajarkan Islam kepada santri-santrinya, Sunan Bonang menggunakan metode yang sangat unik yaitu dengan menggunakan alat music Bonang dan juga suluk atau primbon. Dengan keunikan pendekatan tersebut, dakwah islam yang diajarkan semakin mudah diterima oleh santri-santrinya.[7]

Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk.[8] Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa” artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut wirid.
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya ialah Suluk Wujil,[9] Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Terdapat 5 macam suluk atau primbon Sunan Bonang yang perlu kita ketahui. Adapun berikut ini macam-macamnya:

1.       Suluk Wujil

Suluk Wujil merupakan suluk Sunan Bonang yang paling terkenal, nama dari suluk ini diambil dari salah satu nama cantrik beliau. Dalam suluk Wujil ini, terdapat dua makna dalam syairnya. Syair pertama ini menceritakan tentang suasana perpindahan dari ajaran Hindu ke Islam dalam berbagai aspek kehidupan.
Baik itu dari segi budaya, politik, sastra, intelektual, kepercayaan dan lain sebagainya. Seperti halnya peralihan akibat runtuhnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu terbesar di pulau Jawa yang digantikan dengan Kesultanan Demak.
Syair suluk wujil yang kedua menjelaskan tentang perenungan ilmu sufi atau ilmu yang mempelajari konsep Ketuhanan. Asal usul suluk ini yaitu berasal dari muridnya yang ingin tau lebih dalam mengenai seluk beluk agama. Dari syair-syair suluk ini arti yang tersirat yaitu tentang pengenalan diri sendiri, hakikat dari sebuah niat, dan tujuan orang beribadah.

2.       Suluk Gentur Atau Suluk Bentur

Suluk kedua yang dibuat oleh Sunan Bonang yaitu suluk bentur. Dalam seluk gentur ini menjelaskan tentang tingkatan sufi yang tertinggi harus ditempuh dengan jalan tertentu. Kata gentur atau bentur ini memiliki arti lengkap, selain itu ada juga yang mengartikan sebagai bentuk semangat dan ketekunan.
Syahadat da’im qa’im dan fana’ ruh idafi dimuat dalam suluk Bentur. Penjelasan tentang syahadat da’im qa’im yaitu sebuah anugerah untuk bisa menyaksikan seseorang bersatu dengan kehendak Allah SWT seperti Syahadat atau penyaksian sebelum terlahir di dunia, syahadat ketika memeluk agama Islam, dan syahadat yang diucapkan oleh para nabi, wali dan juga mukmin sejati. 
Sedangkan untuk syahadat fana’ ruh idafi merupakan syahadat sebagai bentuk pembuktian ayat Al-Qur`an yang artinya “Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya”.

3.       Gita Suluk Latri

Suluk lainnya yang dibuat oleh Sunan Bonang yaitu Gita Suluk Latri, yang saat ini tersimpan di Universitas Laiden. Suluk ini menceritakan tentang seseorang yang sedang gelisah. Kegelisaan tersebut diakibatkan terlalu lama menunggu kedatangan Sang Kekasih hingga semakin larut malam. Sehingga, kegelisahan dan kerinduannya semakin mengusik ketenangannya, namun ketika Sang Kekasih datang, ia lupa segalanya. Namun, hanyalah wajah Sang Kekasih yang diingat. Hingga akhirnya seseorang tersebut turut hanyut.

4.       Suluk Khalifah

Suluk Khalifah merupakan suluk yang menceritakan tentang perjuangan wali songo dalam berdakwah. Suluk Khalifah menggambarkan bagaimana cara para wali dalam mengajari seseorang agar masuk agama Islam. Dalam suluk khalifah ini juga mencantumkan kisah Sunan Bonang ketika melakukan riyadhoh di Pasai Aceh. Selain itu, terdapat juga kisah ketika beliau melakukan perjalanan ibadah haji.

5.       Suluk Jebeng

Macam-macam suluk yang selanjutnya yaitu suluk jebeng. Nama Jebeng ini berasal dari istilah orang muda yang menuntut ilmu menjadi di tuakan. Suluk Jebeng menceritakan tentang pengenalan hakikat diri sebagai upaya menuju jalan kebenaran serta pembentukan khalifah di muka bumi. Bahkan, dalam suluk ini juga menceritakan mengenai penyatuan manusia dan Tuhannya yang harus saling mengenal layaknya gema dan suara.

6.       Gita Suluk Wali

Suluk yang terakhir yaitu Gita Suluk Wali. Suluk karya Sunan Bonang ini berbentuk puisi yang setiap liriknya sangat memikat siapa saja yang membaca dan mendengarnya. Syairnya pada suluk ini menjelaskan tentang hati seseorang akan hanyut dengan perasaan cinta. Pada akhir bait suluk ini terdapat syair yang berbunyi “Qalb al-mukmin bait Allah” atau hati seorang hamba mukmin merupakan tempat kediaman Allah.[10]
Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik beberapa ajarannya yang penting dan relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain, berkenaan dengan metode intuitif atau jalan cinta pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan masalah kecerdasan emosi; masalah kemauan murni dan lain-lain.
Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Maha indah. Dalam pengertian ini seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba dari cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang Satu dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-nya. Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan kita, akan senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi ingat (eling) dan waspada.
Cinta merupakan, baik keadaan rohani maupun peringkat rohani. Sebagai keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang Satu sendiri yang menariknya ke hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain dengan memperbanyak ibadah dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin melawan kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu. Ibadah yang sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat membawa seseorang mengenal kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu kemauan yang tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid yaitu, tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun harus dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan perilaku kita. Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir) yang baik dan jernih tentang-Nya.
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya[11]
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri` Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
“Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa ( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga sering bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),Keempat harus
sering berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Siapa saja mampu mengerjakannya, Insya Allah Tuhan Allah mengabulkan.[12]

Bonang adalah bagaian dari perangkat gamelan berukuran sedang yang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat pukul dari kayu yang dililit dengan kain. Jika
 Sunan Bonang sudah sudah menabuh boning tersebut, masyarakat akan berbondong-bondong datang untuk mendengar syair yang akan beliau lantunkan.
Saat itu dalam tradisi masyarakat yang mayoritas masih beragama Hindu, alat music gamelan dan boningnya sudah dikenal. Namun entah mengapa saat dimainkan Sunan Bonang, alat music itu seolah memiliki daya magis. Gaung alat music tersebut dapat menyentuh hati masyarakat, hingga mereka terpanggil untuk mendatangi Sunan Bonang. Maka kisah Sunan dan Bonangnya itu pun menyebar ke mana-mana. Karena jika dimainkan oleh orang biasa, tak pernah sedalam itu pengaruhnya. Lain hanya jika dimainkan seorang Sunan.[13] Itulah sebabnya mengapa Sunan Bonang dijuluki sebagai “Sang Seniman”.

Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka,[14] yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang  diajarkan Raden Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.[15] Sehingga tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan dengan paksaan. Murid-murid Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.



Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW. Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putra Adipati Tuban bernama Arya Teja.
Masa penyebaran Islam oleh Sunan Bonang terjadi seumur hidup beliau Sunan Bonang lahir di daerah Bonang, Tuban, Jawa Timur pada bulan Muharram tahun 1465 Masehi dan kemudian wafat pada tahun 1525 Masehi di Kampung Tegal Gubug, Pulau Bawean, Jawa Timur. Jadi bisa diakumulasikan bahwa Sunan Bonang mendakwahkan Islam selama 60 tahun.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempa dan Surabaya. Selama masa dakwahnya di Bonang, Tuban, Sunan Bonang mendirikan pusat dakwah dengan menyesuaikan adat Jawa yang hingga saat ini dikenal dengan nama pesantren. Pada saat itu pesantren yang didirikan sangatlah terkenal, hal ini terbukti dengan santrinya yang berasala dari berbagai penjuru Nusantara.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup banyak. Di antaranya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain.
Bonang adalah bagaian dari perangkat gamelan berukuran sedang yang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan alat pukul dari kayu yang dililit dengan kain. Jika Sunan Bonang sudah sudah menabuh boning tersebut, masyarakat akan berbondong-bondong datang untuk mendengar syair yang akan beliau lantunkan. Oleh karenanya beliau dijuluki Sang Seniaman.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri yang membunyikan alat musik itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.

Dakwah merupakan satu pilar pokok bagi terpeliharanya eksistensi Islam di muka bumi. Oleh karenanya, setiap muslim wajib menebarkan dakwah Islamiyah karena pada dasarnya Islam dapat menyebar karena adanya dakwah. Dakwah bukan hanya menjadi tanggung jawab perorangan tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama. Maka dari itu, kita harus turut andil dalam menyebarluaskan Islam supaya dapat  mewujudkan sistem Islam dalam kehidupan nyata, khususnya keluarga.


C.     

DAFTAR PUSTAKA


Arroisi, Attman. 1993. Sunan Ampel: Pengawal Ketuhanan Yang Maha Tunggal. Bandung: PT Remais Rosdakarya.
Harahap, Syahrin, dan Hasan Bakti Nasution. 2003. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Kencana.
Herlambang, Munadi. 2013. Jejak Kyai Jawa: Dinamika Peran Politik &Pemerintahan Para Tokoh. Yogyakarta: Buku Litera.
Ilahi, Wahyu, dan Harjani Hefni. 2007. Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana.
Maulida. 2019. “Sunan Bonang”. Makalah. Maulidaenterpreneurship. Blogspot.com. Diakses 4 Desember 2019, 3: 59.
Muhyidin, Asep dan Agus Ahmad Safei. 2001. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: CV Pustaka Setia.
Novianti, Dian. 2019. Walisongo: The Wisdom: Syiar Wali 9 Selama 1 Abad. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwadi. 2007. Dakwah Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saddoen, Ariffin. 2019. “Sunan Bonang: Biografi, Sejarah, Metode Dakwah, dan Letak Makam. Moondoggiesmusic.com/biografi-sunan-bonang. Diakses 4 Desember 2019, 6: 28.



[1] Munadi Herlambang, Jejak Kyai Jawa: Dinamika Peran Politik & Pemerintahan Para Tokoh, (Yogyakarta: Buku Litera, 2013), hlm. 78.
[2] Op. cit. hlm. 74
[3] Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Islam, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 545.
[4] Attman Arroisi, Sunan Ampel: Pengawal KetuhananYang Maha Tunggal, (Bandung: PT Remajs Rosdakarya, 1993), hlm. 89.
[5] Maulida, Sunan Bonang, [Makalah], (maulidaenterpreunership.blogspot.com, 2018) diakses 4 Desember 2019, Pukul 3: 59.
[6] Tidak terdefinisi, “Sunan Bonang”, (wisatanabawi.com/sunan-bonang/, 2019) diakses 4 Desember 2019, pukul 11:01.
[7] Ariffin Saddoen, Sunan Bonang: Biografi, Sejarah, Metode Dakwah, Letak Makam, (http://moondoggiesmusic.com/biografi-sunan-bonang/), diakses 04 Desember 2019, pukul 6: 28.
[8] Wahyu Ilalhi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 45.
[9] Dr. Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 18.
[10] Ariffin Saddoen, Sunan Bonang: Biografi, Sejarah, Metode Dakwah, Letak Makam, (http://moondoggiesmusic.com/biografi-sunan-bonang/), diakses 04 Desember 2019, pukul 6: 28.
[11] Dr. Purwadi, Op. cit., hlm. 19-20.
[12]  Dian Novianti, Walisong: The Wisdom; Syiar 9 Wali Selama 1 Abad, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), hlm. 114-145
[13] Dian Novianti, Op. cit., hlm. 110-111.
[14] Aep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), hlm. 169.
[15] Asep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Op. cit., hlm. 170.

No comments:

Post a Comment

MASA KELAHIRAN DAN SILSILAH KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW

MASA KELAHIRAN DAN SILSILAH KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW . . . KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan keh...