RETORIKA
DAKWAH
“SUNAN
BONANG”
.
.
.
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah Subahanahu wa Ta’ala
atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah retorika dakwah,
dengan judul ”Sunan Bonang”.
Penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat
dalam penulisan makalah ini serta sumber-sumber yang penulis ambil sebagai referensi. Makalah ini membahas mengenai Sunan Bonang, dari mulai biografi
hingga metode penyebaran dakwah yang beliau lakukan, yang mana pembahasan ini dikutip
dari beberapa sumber terpercaya, seperti buku, jurnal, maupun tesis, dengan
harap pembaca bisa lebih percaya dan yakin dengan penjabaran yang telah penulis
paparkan.
Dengan
segala hormat, sebagaimana manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, penulis
menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan didalamnya.. Oleh karenanya,
penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk
perbaikan pada tugas-tugas selanjutnya. Terakhir, penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik kalimat maupun kata
yang kurang berkenan.
Demikian
yang dapat penulis
sampaikan, penulis
berharap pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini. Terimakasih.
Semarang, 3 Desember 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Dakwah merupakan satu pilar
pokok bagi terpeliharanya eksistensi Islam di muka bumi. Di tanah Jawa, dakwah
telah berjalan berabad-abad tahun yang lalu, yaitu melalui peran Walisongo. Dakwah
Walisongo bertujuan untuk mengajak dan menggerakkan manusia agar mentaati
ajaran-ajaran Islam sesuai dengan garis-garis aqidah, syari’at dan akhlak
Islamiyah, termasuk amar ma’ruf nahi
munkar di bumi Nusantara.
Proses
Islamisasi Jawa merupakan rantai estafet dakwah yang dilakukan oleh Walisongo.
Secara bertahap wali-wali yang berjumlah sembilan itu menyebarkan Islam
ditengah-tengah masyarakat yang notabene berpenganut Hindu-Budha. Berkat
metode-motode penyebaran Islam yang disesuaikan dengan kultur agama dan budaya
masyarakatnya, Islam dapat diterima dengan damai dan tanpa paksaan.
Dalam
makalah ini akan mengupas tuntas salah satu wali sembilan, yaitu Sunan Bonang,
yang mana beliau dijuluki sebagai “Sang Seniman” akibat metode dakwahnya yang
unik dan disesuaikan dengan budaya masa itu. Melalui suluk dan syair beliau
menyebarkan Islam, yang mana cara ini memudahkan pemahaman bagi para jama’ah
dakwahnya.
1.
Siapakah Sunan Bonang?
2.
Kapan Sunan Bonang menyebarkan Islam?
3.
Dimana sasaran dakwah Sunan Bonang dalam
menyebarkan Islam?
4.
Apa karya sastra peninggalan Sunan Bonang dalam
menyebarkan Islam?
5.
Mengapa Sunan Bonang dijuluki sebagai “Sang
Seniman”?
6.
Bagaimana metode Sunan Bonang dalam
menyebarkan Islam?
1.
Mengetahui biografi Sunan Bonang.
2.
Mengetahui masa penyebaran Islam yang
dilakukan oleh Sunan Bonang.
3.
Mengetahui sasaran dakwah penyebaran Islam
yang dilakukan oleh Sunan Bonang.
4.
Mengetahui karya sastra Sunan Bonang dalam
menyebarkan Islam.
5.
Mengetahui filosofi julukan “Sang Seniman” bagi
Sunan Bonang.
6.
Mengetahui metode penyebaran Islam yang
dilakukan oleh Sunan Bonang.
BAB II
PEMBAHASAN
Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ampel dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad
SAW. Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum
Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putra Adipati
Tuban bernama Arya Teja.[1]
Sunan Bonang memiliki 5 saudara kandung, yaitu Siti Syari’ah, Sunan Drajat,
Sunan Sedayu, Siti Muthmainah, dan Siti Hafshah.
Sunan
Bonang merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad SAW, yang mana nasabnya
sebagai berikut, Sunan Bonang bin Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin
Al-Akbar bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi
Ammil Fqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra binti Muhammad Rasulullah SAW.[2]
Bonang
adalah nama sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang adalah Liem
Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Shi Hoo alias Sunan
Ampel. Dari berbagai sumber disebutkan bahwa Sunan
Bonang itu nama aslinya adalah Syekh Maulana Makdum Ibrahim. Dilahirkan pada
bulan muharram tahun 1456. Putera Sunan Ampel ( Raden Rahmat) dan Dewi
Condrowati yang sering disebut Nyai Ageng Manila. Sunan boning memiliki dua
saudara (adik), yaitu nyai Gede Maleka dan Syarifuddin (Sunan Drajat).[3]
Ada yang mengatakan Dewi Condrowati itu adalah
puteri Prabu Kertabumi. Dengan demikian Raden Makdum adalah seorang Pangeran
Majapahit karena ibunya adalah puteri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja
Majapahit. Sebagai seorang
wali yang disegani dan dianggap Mufti atau pemimpin agama setanah jawa, tentu
saja Sunan Ampel mempunyai ilmu yang sangat tinggi.[4] Sejak
kecil Raden Makdum Ibrahim sudah diberi pelajaran agama Islam secara tekun dan
disiplin. Sudah bukan
rahasia bahwa latihan atau riadha para wali itu lebih berat daripada orang
awam. Raden Makdum Ibrahim adalah calon wali yang besar, maka Sunan Ampel sejak
dini juga mempersiapkan sebaik mungkin.
Disebutkan dari berbagai literatur bahwa Raden
Makdum Ibrahim dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan pelajaran agama
Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah pengetahuan
kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga belajar
kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti ulama
tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum
Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel
untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempa dan Surabaya.
Sunan
Bonang wafat pada tahun 1525 M. Perihal kuburannya yang ada dua ini disebabkan
karena Sunan Bonang sering dakwah keliling hingga usia lanjut. Beliau meninggal
dunia saat berdakwah di Pulau Bawean. Ketika berita menyebar ke seluruh tanah
Jawa, para murid berdatangan dari segala penjuru untuk berduka cita dan
memberikan penghormatan yang terakhir.
Murid-murid
yang berada di Pulau Bawean hendak memakamkan beliau di Pulau Bawean. Tetapi
murid yang berasal dari Madura dan Surabaya menginginkan jenazahn beliau
dimakamkan didekat ayahnya yaitu Sunan Ampel di Surabaya. Dalam hal
memberikakan kain kafan pembungkus jenazah mereka pun tak mau kalah. Jenazah
yang sudah dibungkus dengan kain kafan milik orang Bawean mau ditambah lagi
dengan kain kafan milik Surabaya.
Pada
malam harinya, orang-orang Surabaya dan Madura menggunakan ilmu sirep untuk
membuat ngantuk orang-orang bawean dan Tuban. Lalu mengangkut jenazah Sunan
Bonang ke dalam kapal dan hendak dibawa ke kapal layar yang bergerak kearah
Surabaya, tetapi ketika berada diperairan Tuban tiba-tiba kapal yang
dipergunakan tidak bisa bergerak . Akhirnya jenazah Sunan Bonang dimakamkan di
Tuban yaitu sebelah barat Mesjid Jami’ Tuban. Sementara kain kafannya yang ditinggal
di Bawean ternyata juga ada jenazahnya. Oaring-orang Bawean pun menguburnya
dengan penuh khidmad.
Dengan
demikian ada dua jenazah Sunan Bonang, inilah karomah atau kelebihan yang
diberikan Allah kepada beliau. Dengan demikian tak ada permusushan diantara
murud-muridnya. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Makam yang dianggap asli
adalah yang berada dikota Tuban sehingga sekarang makam itu banyak diziarahi
oleh orang-orang dari dari penjuru tanah air.[5]
B.
Masa Penyebaran Islam oleh Sunan Bonang
Masa penyebaran Islam oleh
Sunan Bonang terjadi seumur hidup beliau Adapun informasi terkait tentang masa hidup dan wafatnya
Sunan Bonang, bahwa Sunan Bonang merupakan generasi muda dari dewan Walisongo yang
ada. Sunan Bonang lahir di daerah Bonang, Tuban,
Jawa Timur pada bulan Muharram tahun 1465 Masehi dan kemudian wafat pada tahun
1525 Masehi di Kampung Tegal Gubug, Pulau Bawean, Jawa Timur.[6]
Jadi bisa diakumulasikan bahwa Sunan Bonang mendakwahkan Islam selama 60 tahun.
Sunan
Bonang (Raden Makdum Ibrahim) dan Raden Paku sewaktu masih remaja meneruskan
pelajaran agama Islam ke tanah seberang yaitu negeri Pasai. Keduanya menambah
pengetahuan kepada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung dari Sunan Giri, juga
belajar kepada para ulama besar yang banyak menetap di Negeri Pasai. Seperti
ulama tasawuf yang berasal dari bagdad, Mesin, Arab dan Parsi atau Iran.
Sesudah belajar di negeri Pasai Raden Makdum
Ibrahim dan Raden Paku pulang ke jawa. Raden paku kembali ke Gresik, mendirikan
pesantren di Giri sehingga terkenal sebagai Sunan Giri. Sedangkan, Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel
untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempa dan Surabaya.
Selama masa dakwahnya
di Bonang, Tuban, Sunan Bonang mendirikan pusat dakwah dengan menyesuaikan adat
Jawa yang hingga saat ini dikenal dengan nama pesantren. Pada saat itu
pesantren yang didirikan sangatlah terkenal, hal ini terbukti dengan santrinya
yang berasala dari berbagai penjuru Nusantara. Bahkan dari pulau Jawa juga
sangat banyak. Dari sekian banyak santri Sunan Bonang, salah satu yang terkenal
serta menjadi sahabatnya yaitu Sunan Kalijaga.
Bahkan menurut beberapa
sumber, penyesuaian adat Jawa ke Islam yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga,
Sunan Bonang merupakan penanggung jawabnya. Dalam mengajarkan Islam kepada
santri-santrinya, Sunan Bonang menggunakan metode yang sangat unik yaitu dengan
menggunakan alat music Bonang dan juga suluk atau primbon. Dengan keunikan
pendekatan tersebut, dakwah islam yang diajarkan semakin mudah diterima oleh
santri-santrinya.[7]
Beliau juga menciptakan karya sastra yang
disebut Suluk.[8] Hingga
sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai karya sastra yang
sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Suluk Sunan Bonang
disimpan rapi di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda.
Suluk berasal dari bahasa Arab “Salakattariiqa”
artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmunya sering disebut Ilmu
Suluk. Ajaran yang biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut
Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut
wirid.
Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup
banyak. Di antaranya ialah Suluk Wujil,[9] Suluk
Khalifah, Suluk Regok, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk
Pipiringan, Suluk Jebeng dan lain-lain. Terdapat 5 macam suluk atau primbon Sunan Bonang yang perlu kita ketahui.
Adapun berikut ini macam-macamnya:
1.
Suluk Wujil
Suluk Wujil merupakan suluk Sunan Bonang yang
paling terkenal, nama dari suluk ini diambil dari salah satu nama cantrik
beliau. Dalam suluk Wujil ini, terdapat dua makna dalam syairnya. Syair pertama
ini menceritakan tentang suasana perpindahan dari ajaran Hindu ke Islam dalam
berbagai aspek kehidupan.
Baik itu dari segi budaya, politik, sastra,
intelektual, kepercayaan dan lain sebagainya. Seperti halnya peralihan akibat
runtuhnya kerajaan Majapahit sebagai kerajaan Hindu terbesar di pulau Jawa yang
digantikan dengan Kesultanan Demak.
Syair suluk wujil yang kedua menjelaskan
tentang perenungan ilmu sufi atau ilmu yang mempelajari konsep Ketuhanan. Asal
usul suluk ini yaitu berasal dari muridnya yang ingin tau lebih dalam mengenai
seluk beluk agama. Dari syair-syair suluk ini arti yang tersirat yaitu tentang
pengenalan diri sendiri, hakikat dari sebuah niat, dan tujuan orang beribadah.
2.
Suluk Gentur Atau Suluk Bentur
Suluk kedua yang dibuat oleh Sunan Bonang
yaitu suluk bentur. Dalam seluk gentur ini menjelaskan tentang tingkatan sufi
yang tertinggi harus ditempuh dengan jalan tertentu. Kata gentur atau bentur
ini memiliki arti lengkap, selain itu ada juga yang mengartikan sebagai bentuk
semangat dan ketekunan.
Syahadat da’im qa’im dan fana’ ruh idafi
dimuat dalam suluk Bentur. Penjelasan tentang syahadat da’im qa’im yaitu
sebuah anugerah untuk bisa menyaksikan seseorang bersatu dengan kehendak Allah
SWT seperti Syahadat atau penyaksian sebelum terlahir di dunia, syahadat ketika
memeluk agama Islam, dan syahadat yang diucapkan oleh para nabi, wali dan juga
mukmin sejati.
Sedangkan untuk syahadat fana’ ruh idafi
merupakan syahadat sebagai bentuk pembuktian ayat Al-Qur`an yang artinya
“Segala sesuatu akan binasa kecuali Wajah-Nya”.
3.
Gita Suluk Latri
Suluk lainnya yang dibuat oleh Sunan Bonang
yaitu Gita Suluk Latri, yang saat ini tersimpan di Universitas Laiden. Suluk
ini menceritakan tentang seseorang yang sedang gelisah. Kegelisaan tersebut
diakibatkan terlalu lama menunggu kedatangan Sang Kekasih hingga semakin larut
malam. Sehingga, kegelisahan dan kerinduannya semakin mengusik
ketenangannya, namun ketika Sang Kekasih datang, ia lupa segalanya. Namun,
hanyalah wajah Sang Kekasih yang diingat. Hingga akhirnya seseorang tersebut
turut hanyut.
4.
Suluk Khalifah
Suluk Khalifah merupakan suluk yang
menceritakan tentang perjuangan wali songo dalam berdakwah. Suluk Khalifah menggambarkan
bagaimana cara para wali dalam mengajari seseorang agar masuk agama Islam. Dalam suluk khalifah ini juga mencantumkan kisah Sunan Bonang
ketika melakukan riyadhoh di Pasai Aceh. Selain itu, terdapat juga kisah ketika
beliau melakukan perjalanan ibadah haji.
5.
Suluk Jebeng
Macam-macam suluk yang selanjutnya yaitu suluk
jebeng. Nama Jebeng ini berasal dari istilah orang muda yang menuntut ilmu
menjadi di tuakan. Suluk Jebeng menceritakan
tentang pengenalan hakikat diri sebagai upaya menuju jalan kebenaran serta
pembentukan khalifah di muka bumi. Bahkan, dalam suluk ini juga
menceritakan mengenai penyatuan manusia dan Tuhannya yang harus saling mengenal
layaknya gema dan suara.
6.
Gita Suluk Wali
Suluk yang terakhir yaitu Gita Suluk Wali.
Suluk karya Sunan Bonang ini berbentuk puisi yang setiap liriknya sangat
memikat siapa saja yang membaca dan mendengarnya. Syairnya pada suluk ini
menjelaskan tentang hati seseorang akan hanyut dengan perasaan cinta. Pada akhir bait suluk ini terdapat syair yang berbunyi “Qalb
al-mukmin bait Allah” atau hati seorang hamba mukmin merupakan tempat kediaman
Allah.[10]
Melalui karya-karyanya itu kita dapat memetik
beberapa ajarannya yang penting dan relevan. Seluruh ajaran Tasawuf Sunan
Bonang, sebagai ajaran Sufi yang lain, berkenaan dengan metode intuitif atau
jalan cinta pemahaman terhadap ajaran Tauhid; arti mengenal diri yang berkenaan
dengan ikhtiar pengendalian diri, jadi bertalian dengan masalah kecerdasan
emosi; masalah kemauan murni dan lain-lain.
Cinta menurut pandangan Sunan Bonang ialah
kecenderungan yang kuat kepada Yang Satu, yaitu Yang Maha indah. Dalam
pengertian ini seseorang yang mencintai tidak memberi tempat pada yang selain
Dia. Ini terkandung dalam kalimah syahadah La ilaha illa Llah. Laba
dari cinta seperti itu ialah pengenalan yang mendalam (makrifat) tentang Yang
Satu dan perasaan haqqul yaqin (pasti) tentang kebenaran dan keberadaan-nya.
Apabila sudah demikian, maka kita dengan segala gerak-gerik hati dan perbuatan
kita, akan senantiasa merasa diawasi dan diperhatikan oleh-Nya. Kita menjadi
ingat (eling) dan waspada.
Cinta merupakan, baik keadaan rohani maupun
peringkat rohani. Sebagai keadaan rohani ia diperoleh tanpa upaya, karena Yang
Satu sendiri yang menariknya ke hadirat-Nya dengan memberikan antusiasme
ketuhanan ke dalam hati si penerima keadaan rohani itu. Sedangkan sebagai maqam
atau peringkat rohani, cinta dicapai melalui ikhtiar terus-menerus, antara lain
dengan memperbanyak ibadah dan melakukan mujahadah, yaitu perjuangan batin
melawan kecenderungan buruk dalam diri disebabkan ulah hawa nafsu. Ibadah yang
sungguh-sungguh dan latihan kerohanian dapat membawa seseorang mengenal
kehadiran rahasia Yang Satu dalam setiap aspek kehidupan. Kemauan murni, yaitu
kemauan yang tidak dicemari sikap egosentris atau mengutamakan kepentingan hawa
nafsu, timbul dari tindakan ibadah. Kita harus menjadikan diri kita masjid
yaitu, tempat bersujud dan menghadap kiblat-Nya, dan segala perbuatan kita pun
harus dilakukan sebagai ibadah. Kemauan mempengaruhi amal perbuatan dan
perilaku kita. Kemauan baik datang dari ingatan (zikir) dan pikiran (pikir)
yang baik dan jernih tentang-Nya.
Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan
Bonang kepada Wujil pelawak cebol terpelajar dari Majapahit yang berkat asuhan
Sunan Bonang memeluk agama Islam sang — wali bertutur:
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu,
Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya[11]
Dengan menyatakan `jagat terbentang dalam diri`
Sunan Bonang ingin menyatakan betapa pentingnya manusia memperhatikan potensi
kerohaniannya. Adalah yang spiritual yang menentukan yang material, bukan
sebaliknya. Tetapi karena pikiran manusia kacau, ia menyangka yang material
semata-mata yang menentukan hidupnya. Karena potensi kerohaiannya inilah
manusia diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi.
Diantara tembang yang terkenal ialah :
“Tamba ati iku sak warnane,
Maca Qur’an angen-angen sak maknane,
Kaping pindho shalat sunah lakonona,
Kaping telu wong kang saleh kancanana,
Kaping papat kudu wetheng ingkang luwe,
Kaping lima dzikir wengi ingkang suwe,
Sopo wongé bisa ngelakoni, Insya Allah Gusti
Allah nyemba dani.
Artinya :
Obat sakit jiwa
( hati ) itu ada lima jenisnya.
Pertama membaca
Al-Qur’an dengan artinya,
Kedua
mengerjakan shalat malam ( sunnah Tahajjud ),
Ketiga sering
bersahabat dengan orang saleh ( berilmu ),Keempat harus
sering
berprihatin ( berpuasa ),
Kelima sering
berdzikir mengingat Allah di waktu malam,
Bonang
adalah bagaian dari perangkat gamelan berukuran sedang yang dimainkan dengan
cara dipukul menggunakan alat pukul dari kayu yang dililit dengan kain. Jika
Sunan Bonang sudah sudah menabuh boning
tersebut, masyarakat akan berbondong-bondong datang untuk mendengar syair yang
akan beliau lantunkan.
Saat
itu dalam tradisi masyarakat yang mayoritas masih beragama Hindu, alat music
gamelan dan boningnya sudah dikenal. Namun entah mengapa saat dimainkan Sunan
Bonang, alat music itu seolah memiliki daya magis. Gaung alat music tersebut
dapat menyentuh hati masyarakat, hingga mereka terpanggil untuk mendatangi
Sunan Bonang. Maka kisah Sunan dan Bonangnya itu pun menyebar ke mana-mana.
Karena jika dimainkan oleh orang biasa, tak pernah sedalam itu pengaruhnya.
Lain hanya jika dimainkan seorang Sunan.[13]
Itulah sebabnya mengapa Sunan Bonang dijuluki sebagai “Sang Seniman”.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka,[14] yaitu
berupa seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Bonang adalah sejenis kuningan
yang ditonjolkan dibagian tengahnya. Bila benjolan itu dipukul dengan kayu
lunak timbulah suara yang merdu di telinga penduduk setempat.
Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim sendiri
yang membunyikan alat musik
itu, beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi,
sehingga apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Setiap Raden Makdum Ibrahim membunyikan Bonang
pasti banyak penduduk yang datang ingin mendengarnya. Dan tidak sedikit dari
mereka yang ingin belajar membunyikan Bonang sekaligus melagukan
tembang-tembang ciptaan Raden Makdum Ibrahim. Begitulah siasat Raden Makdum
Ibrahim yang dijalankan penuh kesabaran. Setelah rakyat berhasil direbut
simpatinya tinggal mengisikan saja ajaran agama Islam kepada mereka.
Tembang-tembang yang diajarkan Raden
Makdum Ibrahim adalah tembang yang berisikan ajaran agama Islam.[15] Sehingga
tanpa terasa penduduk sudah mempelajari agama Islam dengan senang hati, bukan
dengan paksaan. Murid-murid
Raden Makdum Ibrahim ini sangat banyak, baik yang berada di Tuban, Pulau
Bawean, Jepara, Surabaya maupun Madura. Karena beliau sering mempergunakan
Bonang dalam berdakwah maka masyarakat memberinya gelar Sunan Bonang.
Sunan
Bonang adalah putra Sunan Ampel dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad SAW. Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden
Maulana Makdum Ibrahim. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila,
putra Adipati Tuban bernama Arya Teja.
Masa penyebaran Islam oleh Sunan
Bonang terjadi seumur hidup beliau Sunan Bonang lahir di daerah Bonang, Tuban,
Jawa Timur pada bulan Muharram tahun 1465 Masehi dan kemudian wafat pada tahun
1525 Masehi di Kampung Tegal Gubug, Pulau Bawean, Jawa Timur. Jadi bisa
diakumulasikan bahwa Sunan Bonang mendakwahkan Islam selama 60 tahun.
Raden Makdum Ibrahim diperintahkan Sunan Ampel
untuk berdakwah di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempa dan Surabaya. Selama masa dakwahnya di Bonang, Tuban, Sunan Bonang mendirikan pusat
dakwah dengan menyesuaikan adat Jawa yang hingga saat ini dikenal dengan nama
pesantren. Pada saat itu pesantren yang didirikan sangatlah terkenal, hal ini
terbukti dengan santrinya yang berasala dari berbagai penjuru Nusantara.
Beliau juga menciptakan karya sastra yang
disebut Suluk. Hingga sekarang karya sastra Sunan Bonang itu dianggap sebagai
karya sastra yang sangat hebat, penuh keindahan dan makna kehidupan beragama. Karya Sunan Bonang, puisi dan prosa, cukup
banyak. Di antaranya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Regok, Suluk
Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Ing Aewuh, Suluk Pipiringan, Suluk Jebeng dan
lain-lain.
Bonang
adalah bagaian dari perangkat gamelan berukuran sedang yang dimainkan dengan
cara dipukul menggunakan alat pukul dari kayu yang dililit dengan kain. Jika
Sunan Bonang sudah sudah menabuh boning tersebut, masyarakat akan
berbondong-bondong datang untuk mendengar syair yang akan beliau lantunkan.
Oleh karenanya beliau dijuluki Sang Seniaman.
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim ini sering
mempergunakan kesenian rakyat untuk menarik simpati mereka, yaitu berupa
seperangkat gamelan yang disebut Bonang. Lebih-lebih bila Raden Makdum Ibrahim
sendiri yang membunyikan alat musik itu,
beliau adalah seorang wali yang mempunyai cita rasa seni yang tinggi, sehingga
apabila beliau bunyikan pengaruhnya sangat hebat bagi pendengarnya.
Dakwah
merupakan satu pilar pokok bagi terpeliharanya eksistensi Islam di muka bumi.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib menebarkan dakwah Islamiyah karena pada
dasarnya Islam dapat menyebar karena adanya dakwah. Dakwah bukan hanya menjadi
tanggung jawab perorangan tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama. Maka dari
itu, kita harus turut andil dalam menyebarluaskan Islam supaya dapat mewujudkan sistem Islam dalam kehidupan nyata,
khususnya keluarga.
C.
DAFTAR PUSTAKA
Arroisi, Attman. 1993. Sunan
Ampel: Pengawal Ketuhanan Yang Maha Tunggal. Bandung: PT Remais Rosdakarya.
Harahap, Syahrin, dan Hasan
Bakti Nasution. 2003. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Kencana.
Herlambang, Munadi. 2013. Jejak
Kyai Jawa: Dinamika Peran Politik &Pemerintahan Para Tokoh. Yogyakarta:
Buku Litera.
Ilahi, Wahyu, dan Harjani
Hefni. 2007. Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana.
Maulida. 2019. “Sunan
Bonang”. Makalah. Maulidaenterpreneurship. Blogspot.com. Diakses 4 Desember
2019, 3: 59.
Muhyidin, Asep dan Agus
Ahmad Safei. 2001. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: CV Pustaka
Setia.
Novianti, Dian. 2019. Walisongo:
The Wisdom: Syiar Wali 9 Selama 1 Abad. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purwadi. 2007. Dakwah
Sunan Kalijaga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saddoen, Ariffin. 2019. “Sunan
Bonang: Biografi, Sejarah, Metode Dakwah, dan Letak Makam. Moondoggiesmusic.com/biografi-sunan-bonang.
Diakses 4 Desember 2019, 6: 28.
[1] Munadi Herlambang, Jejak Kyai Jawa: Dinamika Peran Politik &
Pemerintahan Para Tokoh, (Yogyakarta: Buku Litera, 2013), hlm. 78.
[3] Syahrin Harahap dan Hasan Bakti Nasution, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 545.
[4] Attman Arroisi, Sunan Ampel: Pengawal KetuhananYang Maha Tunggal, (Bandung:
PT Remajs Rosdakarya, 1993), hlm. 89.
[5] Maulida, Sunan Bonang, [Makalah],
(maulidaenterpreunership.blogspot.com, 2018) diakses 4 Desember 2019, Pukul 3:
59.
[6] Tidak terdefinisi, “Sunan Bonang”, (wisatanabawi.com/sunan-bonang/,
2019) diakses 4 Desember 2019, pukul 11:01.
[7] Ariffin Saddoen, Sunan Bonang: Biografi, Sejarah, Metode Dakwah,
Letak Makam, (http://moondoggiesmusic.com/biografi-sunan-bonang/), diakses 04 Desember 2019, pukul 6: 28.
[10] Ariffin Saddoen, Sunan Bonang: Biografi, Sejarah, Metode Dakwah,
Letak Makam, (http://moondoggiesmusic.com/biografi-sunan-bonang/), diakses 04 Desember 2019, pukul 6: 28.
[12] Dian Novianti, Walisong: The Wisdom; Syiar 9 Wali Selama 1 Abad, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2019), hlm. 114-145
[14] Aep Muhyidin dan Agus Ahmad Safei, Metode Pengembangan Dakwah, (Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2002), hlm. 169.
No comments:
Post a Comment