Tuesday, 26 May 2020

KESULITAN PRAKTIK PEMBELAJARAN


KESULITAN PRAKTIK PEMBELAJARAN
.
.
.

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dengan judul Kesulitan-Kesulitan Dalam Praktik Pendidikan.
Makalah ini berisi tentang berbagai macam kesulitan yang terjadi dalam praktik dunia pendidikan. Selain itu, kami juga menambahkan beberapa faktor dan sedikit solusi dari kesulitan-kesulitan tersebut. Isi dari makalah ini dikutip dari berbagai sumber buku dan InsyaAllah dapat menambah keyakinan pembaca tentang kebenarannya.
Dengan segala hormat, sebagaimana manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Kami sebagai penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat penulisan yang salah dan segala kekurangan. Kritik dan saran pembaca pastinya masih kami butuhkan untuk perbaikan penulisan karya selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.


Semarang, 25 November 2019

Penulis



DAFTAR ISI



PENDAHULUAN.. 4

BAB II

BAB III 




BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan diartikan sebagai sebuah proses pengubahan sikap atau tingkah laku menuju kedewasaan melalui pengajaran dan pembelajaran. Dalam memperoleh keberhasilan meraih tujuan pendidikan, dibuatlah suatu sistem pendidikan oleh pemerintah negara. Dalam konstitusi negara, yaitu UUD NKRI 1945, tujuan negara salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, pemerintah secara langsung turut andil dalam menyediakan ruang pendidikan.
Perkembangan zaman selalu menimbulkan tantangan-tantangan, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai konsekuensi logis pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi dunia pendidikan itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk yang unik, kedua karena usaha pendidikan harus mengantisipasi ke hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.
Pada dasarnya terdapat beberapa permasalahan pokok yang menjadi kesulitan dalam sistem pendidikan di Indonesia, yaitu: (1) praktek pendidikan, (2) pemerataan pendidikan, (3) mutu pendidikan, (4) efisiensi pendidikan, dan (5) relevansi pendidikan.

1.      Apa saja kesulitan-kesulitan dalam praktik pendidikan?
2.      Apa saja faktor yang memengaruhi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan?
3.      Bagaimana solusi yang dapat meminimalisir adanya kesulitan dalam praktik pendidikan?

1.      Menjelaskan berbagai kesulitan dalam praktik pendidikan.
2.      Memaparkan beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kesulitan dalam praktik pendidikan.
3.      Menjelaskan solusi yang dapat mengurangi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan.



BAB II
PEMBAHASAN


Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu sistem, maka permasalahan pendidikan yang saat ini tengah berkembang dan masuk sebagai masalah pendidikan nasional dapat diuraikan sebagai berikut.
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak, maka proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung dengan baik dan efektif.[1]
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12 persen berkondisi baik, 299.581 atau 34,62 persen mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26 persen mengalami kerusakan berat. Jika kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebiih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan presentase yang tidak sama.[2]

Guru sebagai pilar penunjang terselenggaranya suatu sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah sendiri masih sangat kurang, terutama di daerah-daerah terpencil. Sebagai contoh  di daerah-daerah terpencil di semua kabupaten di Bali, bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah, tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Kurangnya jumlah guru ini jelas merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan. Kekuarangan tersebut membuat beban guru semakin bertumbuk sehingga sangat berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.[3]

Keadaan guru di Indonesia juga sangat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam Pasal 39 UU No. 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan pengabdian masyarakat.[4]
Di antara permasalahan khusus pendidik dan tenaga kependidikan sebagai berikut.
a.       Pendidik bukan berasal dari lulusan yang sesuai. Maksudnya terkadang terdapat tenaga pendidik yang mengajar tidak sesuai dengan jurusannya. Contoh, pendidik yang merupakan lulusan matematika mengajar bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak langsung akan menjadi masalah pendidikan di Indonesia.
b.      Pendidik kurang menguasai dari 4 kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik maupun tenaga kependidikan sehingga hal ini menyebabkan adanya masalah kualitas pendidik  dan tenaga kependidikan yang kurang baik. Kompetensi sebagaimana yang dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
c.       Pendidik terkadang menjadikan mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai pendidik, sehingga dia mengajar secara tidak maksimal. Seharusnya pendidik memiliki kompetensi profesional, yang mengharuskan pendidik wajib bertanggung jawab dengan tugas dan pembinaan terhadap peserta didik.
d.      Pendidik belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan, penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, bahkan lebih berorientasi proyek. Akibatnya, sering kali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya,
e.       Pendidik mengajar tidak sesuai dengan silabus sehingga target dari tujuan pembelajaran tidak sepenuhnya tercapai. Hal ini tidak sesuai dengan kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh guru.
f.       Masih banyak pendidik yang belum memenuhi ketentuan sesuai dengan PP Nomor 19 Tahun 2005 seperti pengajar di tingkat SD/MI minimal berijazah S1/D4. Tetapi dalam kenyataan di masyarakat masih terdapat pendidik yang belum berijazah D4 atau dengan kata lain masih D3.
g.      Tenaga kependidikan biasanya masih berasal dari tenaga pendidik yang merangkap tugas menjadi tenaga kependidikan seperti guru merangkap menjadi tenaga administrasi atau tenaga perpustakaan.[5]

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas satu juta. Masuk SLTP/SLTA dapat mencapai satu juta sampai lima juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/ Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.[6]

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan adalah bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wadah bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan,
Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga negara khususnya anak usia sekolah tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia.[7]
Pemerataan pendidikan di Indonesia masih sering dilihat sebagai permasalahan dengan tiga tahap: (1) pemerataan akses untuk mendapatkan pendidikan, terlepas dari kualitasnya; (2) peningkatan kualitas pendidikan, terlepas dari pemerataannya; dan (3) pemerataan pendidikan berkualitas.[8]



Beberapa faktor yang mempengaruhi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan, yaitu:
a.       IP (Ilmu Pengetahuan)
Berkembangnya IP (science), apakah bidang sosial, ekonomi, hukum, pertanian, dan sebagainya jelas akan membawa masalah dalam bidang pendidikan, misalnya saja materi pengajaran yang terdapat dalam kurikulum sudah harus diubah atau disesuaikan.
b.      TEK (Teknologi)
Perkembangan teknologi, misalnya teknologi baru yang digunakan dalam suatu proses produksi akan menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru. Persyaratan kerja, kebutuhan tenaga kerja, sistem pelayanan, dan lain-lain akan serba baru. Perkembangan seperti ini akan menimbulkan masalah dalam sistem pendidikan. Sistem yang ada mungkin tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, oleh karenanya perlu ditanggulangi.[9]
c.       Seni
Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi perkembangan domain afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan di samping dominan kognitif yang sudah digarap melalui program atau bidang studi yang lain. Dengan memperhatikan alasan di atas, maka sudah seyogyanya jika dunia seni dikembangkan melalui sistem pendidikan secara terstruktur dan terprogram. Pengembangan kualitas seni secara terprogram menuntut tersedianya sarana pendidikan tersendiri di samping program-program yang lain dalam sistem pendidikan. Disinilah timbulnya masalah pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting tetapi di sekolah-sekolah saat ini menduduki kelas dua. Baru terlayani setelah program studi yang lain terpenuhi pelayanannya. Sebabnya di smaping kesenian tidak termasuk UN, juga sarana penunjangnya umumnya tidak tersedia secara memadai karena mahal.[10]

Laju pertumbuhan penduduk yang pesat, akan menyebabkan berkembangnya masalah pendidikan, misalnya masalah pemerataan. Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat, maka jumlah anak usia sekolah akan semakin besar atau banyak. Jika daya tampung sekolah tidak bertambah, maka sebagian dari mereka terpaksa antri atau tidak sekolah. Jika ditampung juga (misalnya karena wajib belajar) maka rasio guru siswa akan semakin besar. Hal ini menyebabkan munculnya masalah lain seperti masalah mutu.
      Penyebaran penduduk yang tidak merata di tanah air akan menimbulkan masalah baru pula. Misalnya bagaimana merencanakan dan menyediakan sarana pendidikan yang dapat melayani daerah padat (kota) dan daerah terisolasi yang anak usia sekolahnya tidak seberapa orang (jarang).

Kecenderungan aspirasi masyarakat semakin meningkat dari tahun ke tahun sudah terlihat. Masyarakat sudah melihat bahwa pendidikan akan lebih menjamin memperoleh pekerjaan yang layak dan menetap atau akan meningkatkan status sosial mereka.
Peningkatan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan ini akan mengakibatkan anak-anak (juga remaja dan dewasa) akan menyerbu dan membanjiri sekolah (lembaga pendidikan). Kondisi seperti ini akan menimbulkan berbagai masalah seperti sistem seleksi siswa atau mahasiswa baru, rasio guru-siswa, waktu belajar, dan permasalah-permasalahan lain yang saling terkait.

Masyarakat kita yang umumnya berada di daerah terpencil, yang ekonominya lemah, dan kurang terdidik akan mengalami keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan. Keadaan seperti ini sudah jelas akan menimbulkan maslaah bagi pendidikan. Permasalahan antara lain bagaimana menyandarkan mereka akan keterbelakangan atau ketinggalannya, bagaimana cara menyediakan sarana kehidupan yang lebih baik, khususnya bagaimana sistem pendidikan dapat menjangkau dan melibatkan mereka sehingga mereka keluar dari keterbelakangan tersebut.[11]

Upaya penanggulangan (solusi) yang dapat mengurangi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan, yaitu:
Perubahan kurikulum ditujukan agar tercipta sistem pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya. Di Indonesia sendiri sudah dilakukan perubahan kurikulum sebanyak 8 kali, yaitu kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, kurikulum suplemen, kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum 2006 (KTSP), dan  kurikulum 2013.
a.       Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Pembaruan pendidik terihat antara lain pada peningkatan kualifikasinya. Dewasa ini pendidik yang berstatus guru/dosen harus keluaran pendidikan tinggi. Untuk menjadi guru di SD minimal harus memiliki kualifikasi S-1 PGSD. Tenaga kependidikan non-guru, seperti petugas/guru  pembimbing terus diusahakan pengasdaan dan pengangkatannya agar yang telah bertugas di sekolah semakin bertambah jumlahnya. Tenaga non-guru lain, seperti pustakawan mendapat pembaruan pula, misalnya keprofesionalan tenaga tersebut.
b.      Dana
Kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pendidikan kelihatannya semakin meningkat, karena biaya pendidikan semakin mahal. Keadaan ini logis saja, karena pembaruan-pembaruan butuh dana baru atau tambahan terhadap alokasi dana sebelumnya.
c.       Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang didirikan dan dikelola oleh masyarakat sebagai lembaga pendidikannya. Semula berstatus swasta, kemudian ada yang dikelola oleh pemerintah dan masyarakat.  Sebagai contoh kursus mengetik (dahulu bond A dan B) sekarang sudah disesuaikan dengan kebutuhan masa kini seperti kursus komputer dan internet.

Pembaruan pendidikan adalah suatu perubahan yang baru dan kualitatif, berbeda dari hal yang ada sebelumnya, serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud pembaruan di bidang pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan dengan tujuan yang lebih baik. Contoh pembaruan pendidikan diantaranya, SD Pamong, SD Kecil, SMP Terbuka, Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Universitas Terbuka, Sekolah Unggul, dan Pendidikan Pesantren.

a.       Belajar Tuntas
Belajar tuntas adalah suatu cara dalam proses belajar yang menuntut siswa untuk menguasai materi pelajaran secara tuntas dengan hasil yang memuaskan, sesuai dengan kemampuan siswa. Dengan demikian, ada kemungkinan siswa dapat menamatkan sekolah lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan.
b.      Cara Belajar Siswa Aktif
Cara belajar siswa aktif (CBSA) adalah suatu cara atau usaha mempertinggi/ mengoptimalisasikan kegiatan siswa dalam proses belajar. Dengan demikian, CBSA menuntut keaktifan belajar siswa yang optimal sehingga dapat mencapai hasil yang optimal pula.
c.       Keterampilan Proses
Keterampilan proses adalah suatu pendekatan yang mengacu kepada bagaimana siwa belajar, dan apa yang ia pelajari. Pada dasarnya keterampilan proses sama dengan CBSA, karena dalam pelaksanaan menuntut siswa agar aktif. Namun ditekankan pada proses berpikir sendiri dengan keterampilan masing-masing siswa. Yang paling penting bagaimana proses untuk mencapai tujuan itu dilakukan oleh siswa terlepas dari hasil yang diperoleh.[12]




 BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Dalam suatu sistem pendidikan, dapat ditemukan beberapa kesulitan dalam pelaksanaan praktiknya, di antaranya: (1) rendahnya kualitas sarana fisik, (2) kekurangan jumlah tenaga guru, (3) rendahnya kualitas guru, (4) mahalnya biaya pendidikan, dan (5) pemerataan pendidikan.
Faktor-faktor yamg memengaruhi adanya kesulitan-kesulitan dalam praktik pendidikan antara lain: (1) perkembangan IPTEK dan seni, (2) laju pertumbuhan penduduk, (3) aspirasi masyarakat, dan (4) keterbelakangan budaya dan sarana.
Kemudian di antara solusi yang dapat mengurangi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan yaitu (1) perubahan kurikulum, (2) pengelolaan pendidikan, (3) pembaruan pendidikan, dan (4) inovasi dalam pendekatan pembelajaran.

B.     Saran
Demikian makalah ini dibuat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Makalah ini tentu terdapat banyak kesalahan dan kekurangan dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dalam penulisan. Oleh karena itu, pembaca dapat mengkaji dari sumber-sumber yang lain dan melakukan perbaikan terhadap makalh ini di kemudian hari.



DAFTAR PUSTAKA

Fihris. 2015. Ilmu Pendidikan Islam: Teoritis-Praktis. Semarang: Karya Abadi Jaya.
Neoalaka, Amos dan Grace Amalia Neolaka. 2017. Landasan Pendidikan: Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup. Depok: Kencana.
Ramayulis. 2015. Dasar-Dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Syafril dan Zelhendri Zen. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Depok: Kencana.




[1] Fihris, Ilmu Pendidikan Islam: Teoritis – Praktis, (Semarang: Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 117.
[2] Amoes Neolaka dan Grace Neolaka, Landasan Pendidikan: Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup, (Depok: Kencana, 2017), hlm. 358-359.
[3] Fihris, Op.cit., hlm. 117-118.
[4] Amoes Neolaka dan Grace Neolaka, Op. cit., hlm. 359.
[5] Syafri dan Zelhendri Zen, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: Kencana, 2017), hlm 183-184
[6] Fihris, Op. cit., hlm. 118-120.
[7] Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 286.
[8] Amos Neolaka dan Grace Neolaka, Op. cit., hlm. 366.
[9] Syafri dan Zelhendri Zen, Op. cit., hlm. 185.
[10] Ramayulis, Op. cit., hlm. 297.
[11] Syafril dan Zalhnedri Zen, Op. cit., hlm. 186-187.
[12] Syafril dan Zelhendri Zen, Op. cit., hlm. 190-218.

No comments:

Post a Comment

MASA KELAHIRAN DAN SILSILAH KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW

MASA KELAHIRAN DAN SILSILAH KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW . . . KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan keh...