KESULITAN PRAKTIK PEMBELAJARAN
.
.
.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan
kehadirat Allah Subhanallahu wa Ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas kelompok
untuk mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam dengan judul Kesulitan-Kesulitan
Dalam Praktik Pendidikan.
Makalah ini berisi tentang berbagai macam kesulitan
yang terjadi dalam praktik dunia pendidikan. Selain itu, kami juga menambahkan
beberapa faktor dan sedikit solusi dari kesulitan-kesulitan tersebut. Isi dari
makalah ini dikutip dari berbagai sumber buku dan InsyaAllah dapat menambah
keyakinan pembaca tentang kebenarannya.
Dengan segala hormat, sebagaimana manusia biasa yang
tak luput dari kesalahan. Kami sebagai penulis memohon maaf yang
sebesar-besarnya jika terdapat penulisan yang salah dan segala kekurangan.
Kritik dan saran pembaca pastinya masih kami butuhkan untuk perbaikan penulisan
karya selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami berharap
pembaca dapat mengambil manfaat dari makalah ini.
Semarang, 25
November 2019
Penulis
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN 4
BAB II
BAB III
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan diartikan sebagai sebuah proses
pengubahan sikap atau tingkah laku menuju kedewasaan melalui pengajaran dan
pembelajaran. Dalam memperoleh keberhasilan meraih tujuan pendidikan, dibuatlah
suatu sistem pendidikan oleh pemerintah negara. Dalam konstitusi negara, yaitu
UUD NKRI 1945, tujuan negara salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Oleh karena itu, pemerintah secara langsung turut andil dalam
menyediakan ruang pendidikan.
Perkembangan zaman selalu menimbulkan
tantangan-tantangan, yang sebagiannya sering tidak dapat diramalkan sebelumnya.
Sebagai konsekuensi logis pendidikan selalu dihadapkan pada masalah-masalah
baru. Masalah yang dihadapi dunia pendidikan itu demikian luas, pertama karena
sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk yang unik, kedua karena usaha
pendidikan harus mengantisipasi ke hari depan yang tidak segenap seginya
terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia.
Pada dasarnya terdapat beberapa
permasalahan pokok yang menjadi kesulitan dalam sistem pendidikan di Indonesia,
yaitu: (1) praktek pendidikan, (2) pemerataan pendidikan, (3) mutu pendidikan,
(4) efisiensi pendidikan, dan (5) relevansi pendidikan.
1. Apa saja kesulitan-kesulitan dalam praktik
pendidikan?
2. Apa saja faktor yang memengaruhi adanya
kesulitan dalam praktik pendidikan?
3. Bagaimana solusi yang dapat meminimalisir
adanya kesulitan dalam praktik pendidikan?
1. Menjelaskan berbagai kesulitan dalam
praktik pendidikan.
2. Memaparkan beberapa faktor yang menjadi
penyebab terjadinya kesulitan dalam praktik pendidikan.
3. Menjelaskan solusi yang dapat mengurangi
adanya kesulitan dalam praktik pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kaitan pendidikan sebagai suatu
sistem, maka permasalahan pendidikan yang saat ini tengah berkembang dan masuk
sebagai masalah pendidikan nasional dapat diuraikan sebagai berikut.
Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu
faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dengan
adanya kerusakan sarana dan prasarana ruang kelas dalam jumlah yang banyak,
maka proses belajar mengajar tidak dapat berlangsung dengan baik dan efektif.[1]
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan
perguruan tinggi yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri. Data Balitbang Depdiknas (2003)
menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898
siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut
sebanyak 364.440 atau 42,12 persen berkondisi baik, 299.581 atau 34,62 persen
mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26 persen mengalami
kerusakan berat. Jika kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebiih
tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga
terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan presentase yang tidak
sama.[2]
Guru sebagai pilar penunjang terselenggaranya suatu
sistem pendidikan, merupakan salah satu komponen strategis yang juga perlu
mendapatkan perhatian oleh negara. Misalnya dalam hal penempatan guru, bahwa
hingga sekarang ini jumlah guru dirasakan oleh masyarakat maupun pemerintah
sendiri masih sangat kurang, terutama di daerah-daerah terpencil. Sebagai
contoh di daerah-daerah terpencil di
semua kabupaten di Bali, bahwa kondisi minimnya jumlah guru dibandingkan
kebutuhan yang ada sudah sering dilontarkan. Bukan hanya di tingkat daerah,
tapi juga telah menjadi persoalan nasional. Kurangnya jumlah guru ini jelas
merupakan persoalan serius karena guru adalah ujung tombak pendidikan.
Kekuarangan tersebut membuat beban guru semakin bertumbuk sehingga sangat
berpotensi mengakibatkan menurunnya kualitas pendidikan.[3]
Keadaan guru di Indonesia juga sangat memprihatinkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan
tugasnya sebagaimana disebut dalam Pasal 39 UU No. 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan
pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian, dan melakukan
pengabdian masyarakat.[4]
Di antara permasalahan khusus pendidik dan tenaga
kependidikan sebagai berikut.
a. Pendidik bukan berasal dari lulusan yang
sesuai. Maksudnya terkadang terdapat tenaga pendidik yang mengajar tidak sesuai
dengan jurusannya. Contoh, pendidik yang merupakan lulusan matematika mengajar
bahasa Indonesia. Hal ini secara tidak langsung akan menjadi masalah pendidikan
di Indonesia.
b. Pendidik kurang menguasai dari 4 kompetensi
yang harus dimiliki oleh pendidik maupun tenaga kependidikan sehingga hal ini
menyebabkan adanya masalah kualitas pendidik
dan tenaga kependidikan yang kurang baik. Kompetensi sebagaimana yang
dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi.
c. Pendidik terkadang menjadikan mengajar
hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai pendidik, sehingga dia mengajar
secara tidak maksimal. Seharusnya pendidik memiliki kompetensi profesional,
yang mengharuskan pendidik wajib bertanggung jawab dengan tugas dan pembinaan
terhadap peserta didik.
d. Pendidik belum sepenuhnya dapat memenuhi
harapan masyarakat. Fenomena itu ditandai dari rendahnya mutu lulusan,
penyelesaian masalah pendidikan yang tidak tuntas, bahkan lebih berorientasi
proyek. Akibatnya, sering kali hasil pendidikan mengecewakan masyarakat. Mereka
terus mempertanyakan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dalam
dinamika kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya,
e. Pendidik mengajar tidak sesuai dengan
silabus sehingga target dari tujuan pembelajaran tidak sepenuhnya tercapai. Hal
ini tidak sesuai dengan kompetensi pedagogik yang harus dimiliki oleh guru.
f. Masih banyak pendidik yang belum memenuhi
ketentuan sesuai dengan PP Nomor 19 Tahun 2005 seperti pengajar di tingkat
SD/MI minimal berijazah S1/D4. Tetapi dalam kenyataan di masyarakat masih
terdapat pendidik yang belum berijazah D4 atau dengan kata lain masih D3.
g. Tenaga kependidikan biasanya masih berasal
dari tenaga pendidik yang merangkap tugas menjadi tenaga kependidikan seperti
guru merangkap menjadi tenaga administrasi atau tenaga perpustakaan.[5]
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering
muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat
untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak
memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah. Untuk masuk TK dan
SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada
yang memungut di atas satu juta. Masuk SLTP/SLTA dapat mencapai satu juta
sampai lima juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/
Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur
pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”.
Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya. Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang
Badan Hukum Pendidikan (BHP).
Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar.
Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan
yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan
di beberapa Perguruan Tinggi favorit.[6]
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk
memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan adalah bagaimana sistem
pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga
negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wadah bagi
pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan,
Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih
banyak warga negara khususnya anak usia sekolah tidak dapat ditampung di dalam
sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang
tersedia.[7]
Pemerataan pendidikan di Indonesia masih sering dilihat
sebagai permasalahan dengan tiga tahap: (1) pemerataan akses untuk mendapatkan
pendidikan, terlepas dari kualitasnya; (2) peningkatan kualitas pendidikan,
terlepas dari pemerataannya; dan (3) pemerataan pendidikan berkualitas.[8]
Beberapa faktor yang mempengaruhi adanya
kesulitan dalam praktik pendidikan, yaitu:
a. IP (Ilmu Pengetahuan)
Berkembangnya IP (science), apakah bidang sosial, ekonomi, hukum,
pertanian, dan sebagainya jelas akan membawa masalah dalam bidang pendidikan,
misalnya saja materi pengajaran yang terdapat dalam kurikulum sudah harus
diubah atau disesuaikan.
b. TEK (Teknologi)
Perkembangan teknologi, misalnya teknologi baru yang digunakan dalam
suatu proses produksi akan menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru. Persyaratan
kerja, kebutuhan tenaga kerja, sistem pelayanan, dan lain-lain akan serba baru.
Perkembangan seperti ini akan menimbulkan masalah dalam sistem pendidikan.
Sistem yang ada mungkin tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan, oleh
karenanya perlu ditanggulangi.[9]
c. Seni
Dilihat dari segi tujuan pendidikan yaitu terbentuknya manusia
seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi
perkembangan domain afektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta
keterampilan di samping dominan kognitif yang sudah digarap melalui program
atau bidang studi yang lain. Dengan memperhatikan alasan di atas, maka sudah
seyogyanya jika dunia seni dikembangkan melalui sistem pendidikan secara
terstruktur dan terprogram. Pengembangan kualitas seni secara terprogram
menuntut tersedianya sarana pendidikan tersendiri di samping program-program
yang lain dalam sistem pendidikan. Disinilah timbulnya masalah pendidikan
kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting tetapi di sekolah-sekolah saat
ini menduduki kelas dua. Baru terlayani setelah program studi yang lain
terpenuhi pelayanannya. Sebabnya di smaping kesenian tidak termasuk UN, juga
sarana penunjangnya umumnya tidak tersedia secara memadai karena mahal.[10]
Laju pertumbuhan penduduk yang pesat, akan menyebabkan
berkembangnya masalah pendidikan, misalnya masalah pemerataan. Dengan
pertumbuhan penduduk yang pesat, maka jumlah anak usia sekolah akan semakin
besar atau banyak. Jika daya tampung sekolah tidak bertambah, maka sebagian
dari mereka terpaksa antri atau tidak sekolah. Jika ditampung juga (misalnya
karena wajib belajar) maka rasio guru siswa akan semakin besar. Hal ini
menyebabkan munculnya masalah lain seperti masalah mutu.
Penyebaran penduduk yang
tidak merata di tanah air akan menimbulkan masalah baru pula. Misalnya
bagaimana merencanakan dan menyediakan sarana pendidikan yang dapat melayani
daerah padat (kota) dan daerah terisolasi yang anak usia sekolahnya tidak
seberapa orang (jarang).
Kecenderungan aspirasi masyarakat semakin meningkat
dari tahun ke tahun sudah terlihat. Masyarakat sudah melihat bahwa pendidikan
akan lebih menjamin memperoleh pekerjaan yang layak dan menetap atau akan
meningkatkan status sosial mereka.
Peningkatan aspirasi masyarakat terhadap pendidikan
ini akan mengakibatkan anak-anak (juga remaja dan dewasa) akan menyerbu dan
membanjiri sekolah (lembaga pendidikan). Kondisi seperti ini akan menimbulkan
berbagai masalah seperti sistem seleksi siswa atau mahasiswa baru, rasio
guru-siswa, waktu belajar, dan permasalah-permasalahan lain yang saling
terkait.
Masyarakat kita yang umumnya berada di daerah
terpencil, yang ekonominya lemah, dan kurang terdidik akan mengalami
keterbelakangan budaya dan sarana kehidupan. Keadaan seperti ini sudah jelas
akan menimbulkan maslaah bagi pendidikan. Permasalahan antara lain bagaimana
menyandarkan mereka akan keterbelakangan atau ketinggalannya, bagaimana cara
menyediakan sarana kehidupan yang lebih baik, khususnya bagaimana sistem
pendidikan dapat menjangkau dan melibatkan mereka sehingga mereka keluar dari
keterbelakangan tersebut.[11]
Upaya penanggulangan (solusi) yang dapat
mengurangi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan, yaitu:
Perubahan kurikulum ditujukan agar tercipta sistem pendidikan yang lebih
baik dari sebelumnya. Di Indonesia sendiri sudah dilakukan perubahan kurikulum
sebanyak 8 kali, yaitu kurikulum 1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984,
kurikulum 1994, kurikulum suplemen, kurikulum berbasis kompetensi, kurikulum
2006 (KTSP), dan kurikulum 2013.
a. Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Pembaruan pendidik terihat antara lain pada peningkatan kualifikasinya.
Dewasa ini pendidik yang berstatus guru/dosen harus keluaran pendidikan tinggi.
Untuk menjadi guru di SD minimal harus memiliki kualifikasi S-1 PGSD. Tenaga
kependidikan non-guru, seperti petugas/guru
pembimbing terus diusahakan pengasdaan dan pengangkatannya agar yang
telah bertugas di sekolah semakin bertambah jumlahnya. Tenaga non-guru lain,
seperti pustakawan mendapat pembaruan pula, misalnya keprofesionalan tenaga
tersebut.
b. Dana
Kebutuhan dana untuk penyelenggaraan pendidikan kelihatannya semakin
meningkat, karena biaya pendidikan semakin mahal. Keadaan ini logis saja,
karena pembaruan-pembaruan butuh dana baru atau tambahan terhadap alokasi dana
sebelumnya.
c. Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal merupakan pendidikan yang didirikan dan dikelola
oleh masyarakat sebagai lembaga pendidikannya. Semula berstatus swasta,
kemudian ada yang dikelola oleh pemerintah dan masyarakat. Sebagai contoh kursus mengetik (dahulu bond A
dan B) sekarang sudah disesuaikan dengan kebutuhan masa kini seperti kursus
komputer dan internet.
Pembaruan pendidikan adalah suatu perubahan yang baru
dan kualitatif, berbeda dari hal yang ada sebelumnya, serta sengaja diusahakan
untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan. Dari
uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud pembaruan di bidang
pendidikan adalah usaha mengadakan perubahan dengan tujuan yang lebih baik.
Contoh pembaruan pendidikan diantaranya, SD Pamong, SD Kecil, SMP Terbuka,
Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), Universitas Terbuka, Sekolah
Unggul, dan Pendidikan Pesantren.
a. Belajar Tuntas
Belajar tuntas adalah suatu cara dalam proses belajar yang menuntut
siswa untuk menguasai materi pelajaran secara tuntas dengan hasil yang
memuaskan, sesuai dengan kemampuan siswa. Dengan demikian, ada kemungkinan
siswa dapat menamatkan sekolah lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan.
b. Cara Belajar Siswa Aktif
Cara belajar siswa aktif (CBSA) adalah suatu cara atau usaha
mempertinggi/ mengoptimalisasikan kegiatan siswa dalam proses belajar. Dengan
demikian, CBSA menuntut keaktifan belajar siswa yang optimal sehingga dapat
mencapai hasil yang optimal pula.
c. Keterampilan Proses
Keterampilan proses adalah suatu pendekatan yang mengacu kepada
bagaimana siwa belajar, dan apa yang ia pelajari. Pada dasarnya keterampilan
proses sama dengan CBSA, karena dalam pelaksanaan menuntut siswa agar aktif.
Namun ditekankan pada proses berpikir sendiri dengan keterampilan masing-masing
siswa. Yang paling penting bagaimana proses untuk mencapai tujuan itu dilakukan
oleh siswa terlepas dari hasil yang diperoleh.[12]
A. Kesimpulan
Dalam suatu
sistem pendidikan, dapat ditemukan beberapa kesulitan dalam pelaksanaan
praktiknya, di antaranya: (1) rendahnya kualitas sarana fisik, (2) kekurangan
jumlah tenaga guru, (3) rendahnya kualitas guru, (4) mahalnya biaya pendidikan,
dan (5) pemerataan pendidikan.
Faktor-faktor
yamg memengaruhi adanya kesulitan-kesulitan dalam praktik pendidikan antara
lain: (1) perkembangan IPTEK dan seni, (2) laju pertumbuhan penduduk, (3)
aspirasi masyarakat, dan (4) keterbelakangan budaya dan sarana.
Kemudian di
antara solusi yang dapat mengurangi adanya kesulitan dalam praktik pendidikan
yaitu (1) perubahan kurikulum, (2) pengelolaan pendidikan, (3) pembaruan
pendidikan, dan (4) inovasi dalam pendekatan pembelajaran.
B. Saran
Demikian
makalah ini dibuat. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumnya dan bagi penulis pada khususnya. Makalah ini tentu terdapat banyak
kesalahan dan kekurangan dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
dalam penulisan. Oleh karena itu, pembaca dapat mengkaji dari sumber-sumber
yang lain dan melakukan perbaikan terhadap makalh ini di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Fihris. 2015.
Ilmu Pendidikan Islam: Teoritis-Praktis. Semarang: Karya Abadi Jaya.
Neoalaka, Amos dan Grace Amalia Neolaka. 2017. Landasan Pendidikan:
Dasar Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup. Depok: Kencana.
Ramayulis. 2015. Dasar-Dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Kalam Mulia.
Syafril dan Zelhendri Zen. 2017. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan.
Depok: Kencana.
[1] Fihris, Ilmu Pendidikan Islam: Teoritis – Praktis, (Semarang:
Karya Abadi Jaya, 2015), hlm. 117.
[2] Amoes Neolaka dan Grace Neolaka, Landasan Pendidikan: Dasar
Pengenalan Diri Sendiri Menuju Perubahan Hidup, (Depok: Kencana, 2017), hlm.
358-359.
[7] Ramayulis, Dasar-Dasar Kependidikan: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan,
(Jakarta: Kalam Mulia, 2015), hlm. 286.
[9]
Syafri dan Zelhendri Zen, Op. cit., hlm. 185.
[10]
Ramayulis, Op. cit., hlm. 297.
No comments:
Post a Comment