MUNASABAH AL-QUR’AN
.
.
.
KATA PENGANTAR
Syukur
Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah Subahanahu wa ta’ala atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik, guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah ulumul Qur’an, dengan judul ”Munasabah
Al-Qur’an”.
Terimakasih
kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini serta
sumber-sumber yang diambil sebagai referensi. Makalah ini membahas mengenai ilmu munasabah Al-Qur’an yang
meliputi pengertian, macam-macam, dan kegunaannya yang dikutip dari berbagai
sumber terpercaya, seperti buku, jurnal, maupun tesis, dengan harap pembaca
bisa lebih percaya dan yakin dengan penjabaran yang telah dipaparkan.
Dengan
segala hormat, sebagaimana manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, disadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan
didalamnya. Oleh karenanya,
sangat diharapakan kritik dan saran dari pembaca untuk
perbaikan pada tugas-tugas selanjutnya. Terakhir, mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila
dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik kalimat maupun kata yang
kurang berkenan.
Demikian, semoga ada manfaat yang dapat diambil dari makalah
ini.
Semarang, 23 Oktober 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
2
DAFTAR ISI
3
BAB I PENDAHULUAN
4
A.
Latar belakang
4
B.
Rumusan Masalah
4
C.
Tujuan
4
BAB II PEMBAHASAN
5
A.
Pengertian munasabah
Al-Qur’an.
5
B.
Macam-macam munasabah
Al-Qur’an
5
C.
Kegunaan
mempelajarai munasabah Al-Qur’an
10
BAB III PENUTUP
12
D.
Kesimpulan.
12
E.
Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
13
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kitab pedoman umat Islam yang
berisi petunjuk dan tuntunan komperhensif untuk mengatur kehidupan di dunia
maupun diakhirat. Al-Qur’an merupakan kalam (firman) Allah, yang sekaligus merupakan mukjizat,
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab, yang sampai
kepada manusia dengan cara al-tawatur (langsung dari Nabi Muhammad
SAW kepada orang banyak), yang kemudian termaktub dalam bentuk mushaf, dimulai
dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat Al-Nas”.[1]
Cara memahami dan memaknai
isi kandungan al-Qur’an berbeda dengan
teks atau bacaan yang lain. Oleh karenanya dibutuhkan ilmu Ulum
al-Qur’an. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah keterkaitan
antar bagian yang ada di dalam al-Qur’an yang disebut dengan ilmu munasabah.
Awal mula munculnya munasabah adalah pada awal abad ke-4H, yaitu yang
diperkenalkan oleh Abu Bakr al-Nisaburi berupa pengungkapan keserasian antar
ayat yang satu dengan ayat yang lain atau satu surah dengan surah yang lain berdasarkan
urutan mushaf.
Fokus ilmu munasabah mengaitkan
aspek korelasi atau hubungan antar ayat dan surat menurut urutan teks. Maka
dari itu, para mufassir sangat menganggap penting ilmu ini, bahkan melebihi
ilmu asbab an-nuzul. Seorang muslim tidak dapat menghindarkan diri dari
keterkaitannya dengan Al-Qur’an. Karena tanpa memahaminya seorang muslim tidak
akan dapat mengetahui petunjuk yang telah dipaparkan didalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan munasabah Al-Qur’an?
2.
Apa saja macam-macam munasabah Al-Qur’an?
3.
Apa saja kegunaan
mempelajari munasabah Al-Qur’an?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui
definisi dari munasabah Al-Qur’an.
2. Untuk mengetahui
macam-macam munasabah Al-Qur’an.
3.
Untuk mengetahui kegunaan
mempelajari munasabah Al-Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Munasabah Al-Qur’an
Secara harfiah, kata munasabah (مناسبه) berarti perhubungan, pertalian, pertautan,
persesuaian, kecocokan, dan kepantasan. Kata al-munasabah, adalah
sinonim (muradif) dengan kata al-muqarabah (المقاربة) dan al-musyakalah (المثاكالة),
yang masing-masing berarti berdekatan dan persamaan.[2]
Secara terminologi, para ulama telah
membuat definisi yang beragam terkait dengan ilmu munasabah ini. Imam Zarkasyi
memaknai munasabah sebagai ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian
permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus atau
hubungan antar ayat yang terkait sebab akibat, ‘Illat dan ma’lul, kemiripan
ayat pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya.[3]
Sedangkan menurut Manna’ al-Qaththan dalam Mabahis
fi Ulum al-Qur’an, yang dimaksud dengan munasabah dalam pembahasan
ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain dalam satu
ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara satu surat dengan
surat yang lain.[4]
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan (menggaris bawahi As-Suyuthi) bahwa munasabah
adalah adanya keserupaan dan kedekatan di antara berbagai ayat, surat, dan
kalimat yang mengakibatkan adanya
hubungan.[5]
B.
Macam-Macam Munasabah Al-Qur’an
1. Munasabah antara suatu surat dengan surat
yang lainnya
Pada bagian ini ada beberapa macam munasabah, yaitu:
a. Munasabah antar surat (al-Munasabah baina al-Suwar)
Untuk tipe ini, Nashr Hamid, telah membagi sedikitnya
menjadi empat bagian;
1)
Hubungan stalistika-kebahasaan.
Hubungan stalistika dalam segi ini yang
dimaskudkan ialah segi kandungan yang terdapat dari suatu ayat dalam suatu
surat dengan suatu ayat pada surah sesudahnya. Sebagai contoh adalah hubungan
khusus antara surah Al-Fatihah dengan surah berikutnya yaitu surah al-Baqarah.
Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam surah Al-Fatihah ayat 6;
$tRÏ÷d$# xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# ÇÏÈ
Artinya: “Tunjukilah Kami jalan yang
lurus”.
Yang kemudian do’a itu mendapat jawaban
dalam surah Al-Baqarah ayat 2;
$y7Ï9ºs Ü=»tGÅ6ø9$# w |=÷u ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`É)FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada
keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa teks
tersebut berkesinambungan: “ seolah-olah ketika mereka memohon hidayah
(petunjuk) ke jalan yang lurus maka dikatakanlah kepada mereka; petunjuk jalan
lurus yang engkau minta itu adalah al-Kitab”.
2)
Hubungan (munasabah) antara “dalil” dengan
“keraguan akan dalil” (Syubhat al-dalil) atau disebut dengan hubungan
ta’wil.
Takwil adalah pengembalian sesuatu pada
maksud sebenarnya, yaitu menjelaskan apa yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an
berkenaan dengan ayat-ayat yang mutasyabihat (samar dan perlu penjelasan). Sebagai contoh hubungan antara surah
al-Baqarah dengan surah Ali ‘Imran. Maksudnya, surah al-Baqarah “merupakan
surah yang mengajukan dalil mengenai hukum”, karena surah ini memuat
kaidah-kaidah agama, sementara surah Ali ‘Imran “sebagai jawaban atas
keragu-raguan para musuh”. Contoh Haji diwajibkan dalam Surat Ali ‘Imran,
sementara dalam Surat al- Baqarah disebutkan bahwa haji disyari’atkan dan diperintahkan
penyempurnannya setelah dikerjakan. Oleh karena itu, nama ka’bah, shafa, dan marwah
disebutkan.[6]
3)
Hubungan (munasabah) ritmik yang didasarkan pada ritme fashilah.
Sebagai contoh hubungan antara surah al-Masad (al-Lahab) dengan al-Ikhlas
adalah hubungan ritmik yang didasarkan ritme fashilah terakhir pada
surah al-Masad yang seirama dengan fashilah-fashilah pada surah
al-Ikhlas (huruf dal). Barangkali yang menguatkan hubungan ini
adalah bahwa fashilah terakhir dari surah al-Masad berbeda dengan
fasilah-fasilah pada surah yang sama, yaitu fashilah terakhir berupa dal,
sementara fashilah-fashilah sebelumnya berupa ba’ semua. Jika
fashilah-fashilah Surah al-Ikhlas semuanya berupa huruf dal, maka
hal ini menciptakan kaitan ritmik antara kedua surat tersebut.[7]
4)
Hubungan (munasabah) antar surat pendek
Hubungan (munasabah) antar surat
pendek adalah hubungan kekontrasan (al-taqabal), yaitu tipe yang dapat
ditemukan antara Surat Al-Ma’un dan Surat al-Kautsar di satu sisi, dan antara
surat Al-Dhuha dan al-Syarh di sisi lain. Dalam surah al-Ma’un, terdapat empat
sifat yang dikontraskan dengan empat sifat yang berlawanan dalam surat
al-Kautsar.
|M÷uäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ã ÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ Ï9ºxsù Ï%©!$# íßt zOÏKuø9$# ÇËÈ wur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ ×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ tûïÏ%©!$# öNèd crâä!#tã ÇÏÈ tbqãèuZôJtur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ
Artinya: “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi Makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang
berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
!$¯RÎ) »oYøsÜôãr& trOöqs3ø9$# ÇÊÈ Èe@|Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ cÎ) t¥ÏR$x© uqèd çtIö/F{$# ÇÌÈ
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah
memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu;
dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang
terputus (dari rahmat Allah)”.
“Karena dalam surat yang pertama (al-Ma’un)
Allah menyifati orang yang mendustakan agama dengan empat perkara: kikir, meninggalkan
sholat, berlaku riya’, dan menghindari zakat. Sedangkan pada surah berikutnya
Allah menyebutkan sebagian lawan dari kikir: Sesungguhnya, kami telah memberimu
nikmat yang amat banyak. Sebagai kontras meninggalkan sholat adalah maka
sholatlah, maksudnya senantiasa melakukan sholat. Sebagai kontras dari
bersikap riya’ adalah untuk Tuhanmu, maksudnya untuk keridhoan-Nya,
bukan untuk manusia. Dan sebagai kontras dari sifat menghindari zakat adalah dan
berkorbanlah, maksudnya bersedekahlah dengan daging korban.[8]
b. Munasabah antar Ayat (al-Munasabah baina al-Ayat)
Munasabah antar ayat yang ada di dalam al-Qur’an dapat
dibedakan menjadi 4,
1. Munasabah antar ayat yang saling berurutan dalam
satu surat
Contoh surah Al-Ma’un ayat ke-4 yang tidak dapat
dipahami tanpa melibatkan ayat ke-5.[9]
×@÷uqsù ú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ
Artinya: “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya,”
2. Munasabah antar ayat awal dengan ayat akhir dalam
satu surat,
Contohnya Surat al-Mu’minun yang dimulai dengan,
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ
Artinya:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman.”
Kemudian
dibagian akhir surah ini ditemukan kalimat:
4……. ¼çm¯RÎ) w ßxÎ=øÿã tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÊÊÐÈ
Artinya: “. . .
Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung”.
Hubungannya, dalam kedua ayat tersebut memiliki makna
yang sama, namun dalam penyampaiannya menggunakan narasi yang beda, yang awal
positif, yang terakhir negatif.
3. Munasabah antara akhir ayat surah dengan awal ayat
surah berikutnya.
Misalnya akhir surah al-Waqi’ah / 56 ayat 96,
ôxÎm7|¡sù ËLô$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ
Artinya: “Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Maha
besar.”
Lalu surah berikutnya, yakni surah al-Hadid / 57 ayat 1:
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ
Artinya: “Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi
bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat ini memiliki munasabah dengan akhir
ayat sebelumnya yang memerintahkan kepada manusia agar bertasbih.[10]
4. Munasabah antara ayat dengan ayat dalam satu surah
Munasabah dalam bentuk ini dapat dilihat dalam surat-surat
pendek. Misalnya surah Al-Ikhlas
ö@è% uqèd ª!$# îymr& ÇÊÈ ª!$# ßyJ¢Á9$# ÇËÈ öNs9 ô$Î#t öNs9ur ôs9qã ÇÌÈ öNs9ur `ä3t ¼ã&©! #·qàÿà2 7ymr& ÇÍÈ
Artinya: “Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak
pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Masing-masing ayat dalam surah tersebut saling
menguatkan tema pokoknya, yaitu tentang keesaan Allah.[11]
C.
Kegunaan Munasabah Al-Qur’an
Kegunaan munasabah adalah sebagai
ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an, bahkan
tidak jarang dengan pendekatan ilmu munasabah penafsiran akan semakin jelas,
mudah serta indah. Karenanya ilmu munasabah cukup memiliki peranan dalam
meningkatkan kualitas penafsiran ayat-ayat al-Qur’an. Selain itu ilmu munasabah
memiliki empat kegunaan utama yaitu:
1. Untuk menemukan arti yang tersirat
dalam susunan dan urutan ayat-ayat dan surah-surah dalam al-Qur’an. Dengan
memahami munasabah makna tersirat dari urutan ayat dan surah dalam al-Qur’an
dapat dipahami lebih dalam mengingat munasabah membahas keterkaita ayat dan
surah.
2. Untuk menjadikan bagian-bagian
al-Qur’an saling berhubungan sehimgga tampak menjadi satu rangkaian yang utuh. Munasabah
menjadikan bagian demi bagian pembicaraan menjadi tersusun demikaian rupa
seperti bangunan yang kokoh dan serasi antara bagian-bagiannya.
3. Ada ayat baru yang dapat dipahami
apabila melihat ayat berikutnya. Contohnya surah Al-Baqarah ayat kedua dan
ketiga yang mana pada ayat kedua disebutkan tentang orang yang bertaqwa.
Kemudia pada ayat ketiga dijelaskan bahwa orang yang bertaqwa adalah orang yang
beriman kepada yang ghaib, melaksanakan sholat, dan menginfakkan sebagian
rezekinya.
4. Untuk menjawab kritikan orang luar terhadap
sistematika Al-Qur’an. Sistematika susunan ayat dan surat dalam al-Qur’an
terkesan tidak sistematis, namun dengan ilmu munasabah maka dapat
dibuktikan keterkaitan dan sistematika yang serasi.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Munasabah adalah ilmu yang mengaitkan pada bagian-bagian
permulaan ayat dan akhirnya, mengaitkan lafadz umum dan lafadz khusus atau
hubungan antar ayat yang terkait sebab akibat, ‘Illat dan ma’lul, kemiripan
ayat pertentangan (ta’arudh) dan sebagainya. munasabah dalam
pembahasan ini adalah segi-segi hubungan antara satu kata dengan kata yang lain
dalam satu ayat, antara satu ayat dengan ayat yang lain, atau antara satu surat
dengan surat yang lain.
Munasabah dibagi menjadi 2, yaitu munasabah antar surat dan
munasabah antar ayat. Munasabah antar surat dibagi menjadi empat, yaitu
hubungan stalistika-kebahasaan, hubungan takwil, hubungan ritmik, dan
hubungan antar surat pendek. Begitupun munasabah antar ayat, pada jenis
ini munasabah juga dibagi menjadi empat, yaitu munasabah antara ayat
dengan ayat dalam satu surah, munasabah antar ayat awal dengan ayat
akhir dalam satu surat, munasabah antar ayat yang saling berurutan dalam
satu surat, dan munasabah antara akhir ayat surah dengan awal ayat surah
berikutnya.
Kegunaan munasabah adalah sebagai ilmu
pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat al-qur’an, yaitu untuk menemukan
arti yang tersirat dalam susunan dan urutan ayat-ayat dan surah-surah dalam
al-Qur’an, menjadikan bagian-bagian al-Qur’an saling berhubungan sehimgga
tampak menjadi satu rangkaian yang utuh, serta untuk menjawab kritikan orang
luar terhadap sistematika Al-Qur’an.
B.
Saran
Al-Qur’an
merupakan pedoman hidup seluruh ummat manusia di bumi. Dimana
dalam memahaminya tentu membutuhkan peran penting dari lmu munasabah,
yaitu sebagai ilmu pendukung atau penopang dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Tanpa
pedoman Al-Qur’an hidup manusia akan berantakan, bahkan selalu menjurus pada
kemaksiatan. Oleh karenanya pahamilah Al-Qur’an agar selamat baik dunia maupun
akhirat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar, Abu. 2009. Ulumul Qur’an: Sebuah
Pengantar. Pekanbaru: Amzah.
Baidan, Nashruddin. 2008. Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Semarang: Nasail Media Group.
Shihab, Quraisy. 1996. Wawasan Al-Qur’an.
Bandung: Mizan.
Suma, Muhammad Amin. 2013. Ulumul
Qur’an. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zaid, Nashr Hamid Abu. 1998. Mafhum
al-Nash Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Mrkaz al-Tsaqafiy al-‘Arabi.
Zarkasyi, Badr Al-Din. 1998. Al Burhan
fi Ulum Al-Quran. Beirut: al-Markaz al-Tsakafiy al-‘Arabi.
[1] Muhammad Ali al-Shabuni, al-Tibyan
fi Ulum al-Qur’an. (Jakarta: Dinamika Berkah Utama, 1985), hlm. 8.
[3] Badr Al-Din Al Zarkasyi, Al Burhan fi Ulum Al-Quran, (Beirut:
al-Markaz al-Tsakafiy al-‘Arabi, 1998), hlm. 159.
[6] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut:
al-Markaz al-Tsaqafiy al-‘Arabi, 1998), hlm. 163.
[8] Nashr Hamid Abu Zaid, Mafhum al-Nash Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut:
al-Mrkaz al-Tsaqafiy al-‘Arabi, 1998), hlm. 167.
No comments:
Post a Comment