Tuesday, 26 May 2020

PERKEMBANGAN ISLAM BANI ABBASIYAH PASCA MASA KEEMASAN



PERKEMBANGAN ISLAM
BANI ABBASIYAH PASCA MASA KEEMASAN

Disusun Oleh:
Kelompok 9


PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019


KATA PENGANTAR 

            Syukur Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah Subahanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, guna memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, dengan judul ”Perkembangan Islam Bani Abbasiyah Pasca Masa Keemasan”.
Terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini serta sumber-sumber yang diambil sebagai referensi. Makalah ini membahas mengenai sejarah perkembangan Islam  pada masa Bani Abbasiyah pasca masa keemasan, yang meliputi kondisi dan faktor kemunduran dinasti Abbasiyah yang dikutip dari berbagai sumber terpercaya, seperti buku, jurnal, maupun tesis, dengan harap pembaca bisa lebih percaya dan yakin dengan penjabaran yang telah dipaparkan.
            Dengan segala hormat, sebagaimana manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, disadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan didalamnya. Oleh karenanya, sangat diharapakan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan pada tugas-tugas selanjutnya. Terakhir, mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik kalimat maupun kata yang kurang berkenan.
            Demikian, semoga ada manfaat yang dapat diambil dari makalah ini.

Semarang, 30 Oktober 2019

            Penyusun


BAB I (PENDAHULUAN) 

Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai pemerintahan masa revolusi Islam. Dimana dalam perjalanannya, daulah ini banyak memberikan catatan sejarah dalam memajukan peradaban Islam. Pada masa itu ummat Islam mencapai puncak kejayaannya, baik dalam bidang ekonomi, peradaban, kekuasaan, juga cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah pasca masa keemasan mengalami kemunduran diberbagai bidang. Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Akibatnya roda pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi inilah yang memberi peluang kepada tentara professional asal Turki untuk mengambil kendali pemerintahan.[1]
Pada dasarnya faktor-faktor penyebab kemunduran dinasti Abbasiyah tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat sejak periode pertama, akan tetapi benih-benih itu tidak dapat berkembang karena pada masa itu kekhalifahan sangatlah kuat sehingga mampu mengatasinya. Oleh karenanya, disini akan diuraikan beberapa faktor kemerosotan daulah Abbasyiah agar tidak terulang lagi pada peradaban selanjutnya.
1.      Bagaimana kondisi perkembangan Islam Bani Abbasyiah pasca masa keemasan?
2.      Apa saja faktor yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah?
1.      Untuk mengetahui kondisi perkembangan Islam Bani Abbasiyah pasca masa keemasan.
2.      Untuk mengetahui faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah.


BAB II

PEMBAHASAN


Kekuasaan dinasti Abbasiyah disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, yaitu dari 750 M hingga 1258 M. Pemerintahan ini disebut Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:[2]
Periode ini diawali  sejak Abu Abbas menjadi khalifah. Dan berlangsung selama 1 abad hingga meninggalnya khalifah Al-Wasiq (232 H/847 M). Pada periode pertama ini, pemerintahan Bani Abbas mancapai masa keemasannya. Antara lain secara politis, keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan, yakni dari lautan Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai Nil.
Para khalifah disamping dikenal dekat dengan ulama dan bahkan turut berfatwa atau berijtihad, juga merupakan pemimpin seluruh peperangan yang ada. Sehingga bisa dikatakan bahwa para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Pada periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Sayang kejayaannya Dinasti Abbasiyah ini tidak bertahan lama setelah adanya intrik dan pertarungan kekuasaan yang ada di kalangan anak-anak khalifah. Bahkan tidak jarang pembunuhan antara keluarga khalifah sudah sangat lumrah bahkan dalam kadar kebengisan yang tidak bisa dibayangkan.[3] Dari sinilah masuk dalam periode kedua yang mana masa bani Abbasiyah pasca keemasan. Pada periode pertama, ada sepuluh orang khalifah Abbasiyah, yaitu:
a.       Abul Abbas As-Saffah (132-136 H/750-754 M)
b.      Abu Ja’far Al-Mansur ( 136-156 H/754-774 M)                     
c.       Muhammad Al-Mahdi  (156-166 H/774-785 M)
d.      Musa Al-Hadi (167-168 H/785-786 M)
e.       Ar-Rasyid (168-191 H/785-809 M)
f.       Al-Amin (191-195 H/809-813 M)
g.      Al-Ma’mun (195-215 H/813-833 M)
h.      Ibrahim (199 H/817 M)
i.        Al-Mu’tashim (215-224 H/833-842 M)
j.        Al-Watsiq (224-229 H/842-847 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah al-Wasiq, sehingga al-Mutawakkil (847-861 M) naik menjadi khalifah. Dari tahun 247-334 H/861-945 M adalah masa di mana orang-orang militer Turki memegang kendali atas khalifah-khalifah yang lemah.[4] Mereka semula dibawa oleh khalifah al-Mu’tashim dan bermukim di Baghdad. Yang kemudian bermukim di Samarra sebelah utara Baghdad, yaitu sebuah kota yang dibangun khalifah al-Mu’tashim khusus untuk mereka.
Beberapa minggu setelah al-Mutawakkil menjadi khalifah, ia langsung membuat perubahan personalia pemerintahannya yang kebanyakan para jenderal, menteri, gubernur dsb. berasal dari bangsa Turki. Setelah al-Mutawakkil wafat, para jenderal yang berasal dari Turki (amir) berhasil mengontrol pemerintahan. Empat khalifah berikutnya, yaitu al-Muntasir, al-Musta’in, al-Mu’tazz, al-Muhtadi dianggap lebih sebagai simbol semata daripada kepala pemerintahan yang efektif.  Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalam do'a-do'a di atas mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang dinar dan dirham.[5] Dengan kata lain kekuasaan tidak berada di tangan Bani Abbas meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.[6] Dan merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sekehendak mereka.
Penyebab kepemimpinan khalifah Abbasiyah pasca periode pertama dinasti mengalami kemunduran yaitu karena mayoritas para khalifah adalah orang yang lemah, suka senang-senang, dan hanya menjadi boneka Turki. Meskipun demikian ada sebagian khalifah Abbasiyah akhir yaitu al-Mu’tadhid, yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya dan berusaha untuk memajukan Abbasiyah. Oleh karenanya ada yang mengatakan masa khalifah al-Mu’tadhid disebut masa kebangkitan kembali dinasti Abbasiyah.
Namun dia tak mampu berkuasa dengan penuh karena  banyak kerajaan yang merdeka serta para gubernur dan pejabat melepaskan diri dari pemerintahan. Yang tersisa hanyalah mentri yang ambisius dan korup. Dengan demikian mengakibatkan awal kemunduran politik Bani Abbas. Oleh karena itu, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembangan.[7] Pada periode kedua ini ada tiga belas khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu ialah:[8]
a.       Al-Mutawakkil (232-247 H/847-861 M)
b.      Al-Muntashir (247-248 H/861-862 M)
c.       Al-Musta’in  (248-252 H/862-866 M)
d.      Al-Mu’taz (252-255 H/866-869 M)
e.       Al-Muhtadi (255-256 H/869-870 M)
f.       Al-Mu’tamid (256-279 H/870-892 M)
g.      Al-Mu’tadhid (279-289 H/892-902 M)
h.      Al-Muktafi (289-295 H/902-908 M)
i.        Al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M)
j.        Al-Qahir (320-322 H/932-934 M)
k.      Ar-Radhi (322-329 H/934-940 M)
l.        Al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M)
m.    Al-Mustakfi (333-334 H/944-945 M).
Khalifah al-Mustakti merupakan khalifah yang menyaksikan pengakhiran orang-orang Turki dan menyaksikan kemunculan bani Buwaihi. Masa ini dimulai dengan bangkitnya Bani Buwaihi hingga munculnya Bani Saljuk. Bani Buwaihi cukup kuat dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad, yang merupakan pusat dunia Islam dan lokasi kediaman khalifah Abbasiyah.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya di bawah dominasi para pengawal mereka yang berasal dari suku bangsa Turki. Untuk menjaga keselamatan khalifah, diminta bantuan klan Buwaihi. Pada tahun 945 M balatentara Buwaihi memasuki dan menguasai Baghdad memulihkan keadaan, dan memegang kekuasaan de facto. Dalam situai seperti ini khalifah al-Mustakfi mengangkat Ahmad bin Buwaihi, pimpinan laskar Buwaihi yang termasyhur.
Sebagai amir al-umara’ (panglima besar) dengan gelar kehormatan Mu’izz ad-daulah (yang memperkuat kedaulatan). Tetapi hal ini ternyata tidak menyelamatkan khalifah, karena tidak lama kemudian Ahmad membutakan mata khalifah dan menurunkannya dari tahta serta mengangkat al-Muti sebagai khalifah baru.
Sejak kekuasaan de facto berada di tangan  Buwaihi, khalifah hanyalah sebagai boneka Dinasti Buwaihi. Orang-orang Buwaihi yang menganut paham Syiah terkesan kurang menghormati khalifah Abbasiyah yang beraliran paham suni. Pada masa ini Para khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu ialah:
a.       Al-Mustakfi (333-334 H/944-946 M)
b.      Al-Muti’ (334-363 H/946-974 M)
c.       Al-Ta’tie (363-381 H/974-992 M)
d.      Al-Qadir (381-422 H/992-1031 M)
e.       Al-Qaim (422-467 H/1031-1075 M)
Khalifah al-Qaim telah menyaksikan berakhirnya zaman bani Buwaihi dan menjelangnya kaum Saljuk. Masa ini diawali ketika suku Saljuk mengambil alih pemerintahan dan mengontrol kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 447 H/1055 M. Suku Saljuk adalah keturunan Saljuq bin Yakak, seorang pemimpin konfederasi suku-suku Turki  yang mengabdi pada salah seorang khan di Turkistan. Saljuk pindah dari dataran tinggi kirghiz (kazakhstan) bersama seluruh anggota sukunya ke Jand di Propinsi Bukhara. Di kota ini ia dan seluruh sukunya masuk Islam. Dua dasawarsa berikutnya. Orang-orang saljuk (yang kemudian dipimpin oleh tiga orang putra Saljuk: Musa, Mikail dan Arslan; kemudian juga oleh dua orang putra Mikail yang bernama Tugril Beg Muhammad dan Chaqril Beg Dawud) menjadi tentara bayaran khalifah dan turut berperang di Transoxiana serta Khurasan.
Akhirnya, pada tahun 1055 M mereka mengambil alih kekuasaan di Baghdad dan membuat khalifah di bawah pengaruh mereka. Khalifah hanya memiliki wewenang dalam bidang keagamaan saja. Para khalifah Bani Abbasiyah saat itu ialah:
a.       Al-Qaim (422-467 H/1031-1075 M)
b.      Al-Muqtadi (467-487 H/1075-1094 M)
c.       Al-Mustazhir (487-512 H/1094-1118 M)
d.      Al-Mustarshid (512-529 H/1118-1135 M)
e.       Ar-Rasyid (529-530 H/1135-1136 M)
f.       Al-Muktafi (530-555 H/1136-1160 M)
g.      Al-mustanjid (555-566 H/1160-1170 M)
h.      Al-Mustadhi’ (566-575 H/1170-1180 M)
i.        An-Nashir (575-626 H/1180-1225 M)[11]
Kemudian pada tahun 590 H. Khalifah An-Nashir berhasil membebaskan diri dari kaum Saljuk dan mendirikan pemerintahan sendiri di Baghdad dan kawasan-kawasan di sekitarnya. Inilah akhir periode keempat dan awal periode kelima.
Khalifah an-Nashir sempat menyaksikan berakhirnya kaum Saljuk dan kemudian berdiri sendiri memerintah di Baghdad tahun 590 H. Setelah khalifah Abbasiyah berhasil memerdekakan dirinya dari kerajaan Bani Saljuk dan memerintah di Baghdad dan kawasan-kawasan di sekitarnya, khalifah dan putra-putranya terus menikmati kedaulatan dan kemerdekaan yang penuh di kawasan kecil tersebut, sehingga kaum tartar yang dipimpin oleh Hulaku datang menyerang dan menakluk dunia Islam serta memusnahkan kota Baghdad, membunuh khalifah dan menamatkan pemerintahan Abbasiyah pada tahun 656 H. (1258 M).[9] Khalifah-khalifah yang memerintahkan di masa itu adalah:
a.       An-Nashir (575-626 H/1180-1225 M)
b.      Az-zahir (622-623 H/1225-1226 M)
c.       Al-Mustansir (623-640 H/1226-1242 M)
d.      Al-Musta’sim (640-656 H/1242-1258 M)
Sebagaimana terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua yaitu masa pengaruh turki pertama pada tahun 232-234 H/847-945 M. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benih sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.[10]
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Kemunduran dinasti Abbasiyah ditandai dengan adanya pertikaian internal Dinasti Bani Abbas. Sebelum meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah: al-Amin dan al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa wilayah bagian barat, sedangkan al-Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M), al-Amin putra mahkota tertua tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma’mun. Oleh karena itu pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh al-Ma’mun.[11]
Setelah perang usai, al-Ma’mun berusaha menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir panglima militer, dan saudaranya sendiri, yaitu al-Mu’tashim.[12] Sebagai imbalan jasa, Tahir disamping berkedudukan sebagai panglima tertinggi tentara Bani Abbas, diangkat oleh al-Ma’mun sebagai gubernur Khurasan (820-822 M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan oleh anak-anaknya.[13] Akhirnya, ketergantungan khalifah kepada Tahir sangat tinggi yang membuat khalifah tidak dapat mengendalikan tentara secara langsung.[14]
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Bani Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung  ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[15]
Khalifah Abbasiyah didirikan bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan terjadi karena dilatar belakangi persamaan nasib kedua golongan itu pada masa bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khalifah Abbasiyah berdiri, dinasti Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu.
Menurut Styzewaka ada dua sebab dinasti Abbas memilih orang-orang persia dari pada orang-orang arab. Pertama, sulit bagi orang-orang arab untuk melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua. Orang-orang arab sendiri terpecah belah dengan adanya ’ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ’Ashabiyah traditional.[16]
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia juga. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam. Dengan demikian, menimbulkan kerusuhan atau pemberontakan antar golongan yang disebabkan karena rasa fanatisme kesukuan.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan dan dijadikan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia dan Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka. Oleh karenanya, setelah al-Mutawakkil, khalifah yang lemah naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung lagi. Dan sejak saat itu sebenarnya kekuasaan Bani Abbas sudah berakhir.[17]
Setelah  periode pertama khalifah mengalami periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, ketergantungan pada tentara bayaran, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan para pejabat melakukan korupsi.[18] Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.[19] Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
Kelemahan kedudukan khalifah dinasti Abbasiyah di Bagdad, yang disebabkan oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang terkendali, ketergantungan kepada tentara bayaran, kesulitan ekonomi, dan persoalan politik lainnya, menimbulkan disintegrasi wilayah yang dikuasai oleh masing-masing penguasa setempat. Para penguasa ini ketika terjadi ketegangan di dalam kekuasaan istana Bagdad, mencoba memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah di Bagdad. Adapun diantara kerajaan-kerajaan Islam yang memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah adalah:[20]
a.    Dinasti Umayyah di Andalusia
b.   Dinasti Idrisiyah di Maroko
c.    Dinasti Aghlabiyyah (184-296 H / 800-909M)
d.      Dinasti Thukuniyyah (254-292 H / 868-905 M)
e.       Dinasti Ikhsyidi (323-358 H / 935- 969 M)
f.       Dinasti Hamdaniyah (293-394 H / 905-1004 M)
g.      Dinasti Thahiriyah (205-259 H/ 821-873 M)
Munculnya gerakan zindiq yang bermula dengan polemik ajaran hingga ke konflik bersenjata. Dimana ketika gerakan itu sudah tersudut, pendukungnya banyak yang berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah yang dipandang ghulat (ekstrem). Hingga al-Mutawakkil memerintahkan agar makan Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya, al-Munthasir, kembali memperkenankan orang Syiah untuk menziarahi makam Husein tersebut.[21] Polemik agama juga kembali dipertajam oleh al-Ma’mun yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab resmi negara dan minhah.
7.      Ancaman dari luar
a.    Perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode yang menelan banyak korban.
b.    Serangan tentara Mongol dan Tartar.
Puncak khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur adalah penyerbuan bangsa mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Baghdad hancur luluh dan pasukan Mongol pergi dengan membawa sebanyak mungkin harta rampasan perang. Ini adalah Tragedi peradaban dan kemanusiaan Dinasti Abbassiyah, sebuah dinasti yang pernah mencapai zaman keemasannya.[22]


Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa  perkembangan Islam Bani Abbasiyah pasca masa keemasan dimulai dari periode kedua (pengaruh Turki pertama), periode ketiga (pengaruh Persia kedua, yaitu kekuasaan dinasti Buwaih), periode keempat (pengaruh Turki kedua, yaitu kekuasaan dinasti Saljuk), dan periode kelima (bebas dari pengaruh dinasti lain). Sehingga walaupun pemegang kekhalifahan adalah Bani Abbasiyah tetapi kekuasaan berada di tangan ketiga kekuatan itu.
Kemunduran dinasti Abbasiyah dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu, perpecahan internal, kemewahan hidup dikalangan penguasa, fanatisme kebangsaan, kemerosostan ekonomi, timbulnya kerajaan-kerajaan yang bebas dari kekuasaan bani Abbas, konflik agama, dan ancaman dari luar.

Demikian makalah ini dibuat. Disampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Disadari bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca.


DAFTAR PUSTAKA 

Aen, Nurul. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Usairy, Ahmad. 2003. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX. Jakarta: Akbar Turki Media.
As-Suyuti, Imam. 2009. Tarikh Khulafa’. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Lubis, Nur Ahmad Fadhil. 2005. Ensikolopedi Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Maryam, Siti, dkk.. 2003. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Muradi. 1997. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Toha Putra.
Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syalabi, Mubarok. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT Al-Husna Zikra.
Yatim, Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.



[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), Hlm. 62.
[2] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut: al-Maktub al-Tijari), hlm. 360.
[3] Imam As-Suyuti, Tarikh Khulafa’, (Jakarta: Pustaka AL-Kautsar, 2009), hlm. 16.
[4]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Turki Media, 2003), hlm. 248.
[5] Nurul, Aen,  Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2008), hlm.138-139.
[6] Ibid, hlm. 49.
[7] Badri Yatim, Op.cit,  hlm. 50.
[8] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2003), hlm. 311.
[9] Ahmad Syalabi,Op.cit, hlm. 3-4.
[10] Ibid, hlm. 80.
[11] Menurut sejarawan, orang-orang Arab mendukung al-Amin, sedangkan orang-orang Persia mendukung al-Ma’mun. Jadi, persaingan antara al-Amin dengan al-Ma’mun sebenarnya adalah persaingan antara suku Arab dan suku Persia. Lihat D. S Margolieuth, Umayads and Abbasids, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978), hlm. 203.
[12] Siti Maryam, dkk. (ed.), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 123.
[13] Ibid, hlm. 131.
[14] Saunders, A History of Medievel Islam, (London: Routledge and Kegan Paul, 1980), hlm. 118.
[15] Dedi Supriydi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2008), hlm. 137.
[16] Ibid, hlm. 81.
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 81.
[18]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 82.
[19] Ibid, hlm. 82.
[20] Muradi, Sejarah Kebudayaan Islam,( Semarang: Toha Putra. 1997), hlm. 87.

[21] Hassan Ibrahim, Tarikh, jilid II, Hlm. 7.
[22] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 111.


No comments:

Post a Comment

MASA KELAHIRAN DAN SILSILAH KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW

MASA KELAHIRAN DAN SILSILAH KELUARGA NABI MUHAMMAD SAW . . . KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan keh...