PERKEMBANGAN ISLAM
BANI ABBASIYAH PASCA MASA KEEMASAN
Disusun
Oleh:
Kelompok
9
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM 1C
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2019
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa dipanjatkan
kehadirat Allah Subahanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik, guna memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, dengan judul ”Perkembangan Islam
Bani Abbasiyah Pasca Masa Keemasan”.
Terimakasih
kepada semua pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini serta
sumber-sumber yang diambil sebagai referensi. Makalah ini membahas mengenai sejarah perkembangan
Islam pada masa Bani Abbasiyah pasca
masa keemasan, yang meliputi kondisi dan faktor kemunduran dinasti Abbasiyah yang
dikutip dari berbagai sumber terpercaya, seperti buku, jurnal, maupun tesis,
dengan harap pembaca bisa lebih percaya dan yakin dengan penjabaran yang telah
dipaparkan.
Dengan segala hormat, sebagaimana
manusia biasa yang tak luput dari kesalahan, disadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan didalamnya. Oleh karenanya, sangat
diharapakan kritik dan saran dari pembaca untuk perbaikan pada tugas-tugas
selanjutnya. Terakhir, mohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan baik kalimat maupun
kata yang kurang berkenan.
Demikian, semoga ada manfaat yang dapat diambil
dari makalah ini.
Semarang, 30 Oktober 2019
Penyusun
BAB I (PENDAHULUAN)
Pemerintahan dinasti Abbasiyah dikenal sebagai
pemerintahan masa revolusi Islam. Dimana dalam perjalanannya, daulah ini banyak
memberikan catatan sejarah dalam memajukan peradaban Islam. Pada masa itu ummat
Islam mencapai puncak kejayaannya, baik dalam bidang ekonomi, peradaban,
kekuasaan, juga cabang-cabang ilmu pengetahuan.
Perkembangan Islam pada masa Bani Abbasiyah pasca masa
keemasan mengalami kemunduran diberbagai bidang. Perkembangan peradaban dan
kebudayaan serta kemajuan yang dicapai dinasti Abbasiyah pada periode pertama
telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah. Akibatnya roda pemerintahan
terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi inilah yang memberi peluang kepada
tentara professional asal Turki untuk mengambil kendali pemerintahan.[1]
Pada dasarnya faktor-faktor penyebab kemunduran
dinasti Abbasiyah tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat
sejak periode pertama, akan tetapi benih-benih itu tidak dapat berkembang
karena pada masa itu kekhalifahan sangatlah kuat sehingga mampu mengatasinya. Oleh
karenanya, disini akan diuraikan beberapa faktor kemerosotan daulah Abbasyiah
agar tidak terulang lagi pada peradaban selanjutnya.
1. Bagaimana kondisi perkembangan Islam Bani
Abbasyiah pasca masa keemasan?
2. Apa saja faktor yang menyebabkan kemunduran
Bani Abbasiyah?
1. Untuk mengetahui kondisi perkembangan Islam
Bani Abbasiyah pasca masa keemasan.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab kemunduran
Bani Abbasiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
Kekuasaan dinasti Abbasiyah disebutkan melanjutkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang, yaitu dari 750 M hingga 1258 M. Pemerintahan ini disebut Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman
Nabi Muhammad SAW. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:[2]
Periode ini
diawali sejak Abu Abbas menjadi khalifah. Dan berlangsung selama 1
abad hingga meninggalnya khalifah Al-Wasiq (232 H/847 M). Pada periode pertama
ini, pemerintahan Bani Abbas mancapai masa keemasannya. Antara lain secara politis, keberhasilannya dalam memperluas wilayah kekuasaan, yakni
dari lautan Atlantik hingga sungai Indus dan dari laut Kaspia hingga ke sungai
Nil.
Para khalifah disamping dikenal dekat dengan ulama dan bahkan turut
berfatwa atau berijtihad, juga merupakan pemimpin seluruh peperangan yang ada.
Sehingga bisa dikatakan bahwa para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Di sisi lain kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Pada periode
ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan Islam. Sayang kejayaannya Dinasti Abbasiyah ini tidak bertahan lama
setelah adanya intrik dan pertarungan kekuasaan yang ada di kalangan anak-anak
khalifah. Bahkan tidak jarang pembunuhan antara keluarga khalifah sudah sangat
lumrah bahkan dalam kadar kebengisan yang tidak bisa dibayangkan.[3] Dari
sinilah masuk dalam periode kedua yang mana masa bani Abbasiyah pasca keemasan.
Pada periode pertama, ada sepuluh orang khalifah Abbasiyah, yaitu:
a.
Abul Abbas As-Saffah (132-136 H/750-754 M)
b.
Abu Ja’far Al-Mansur ( 136-156 H/754-774
M)
c.
Muhammad Al-Mahdi (156-166 H/774-785 M)
d. Musa Al-Hadi (167-168
H/785-786 M)
e. Ar-Rasyid (168-191
H/785-809 M)
f. Al-Amin (191-195 H/809-813
M)
g. Al-Ma’mun (195-215
H/813-833 M)
h. Ibrahim (199 H/817 M)
i.
Al-Mu’tashim (215-224 H/833-842 M)
j.
Al-Watsiq (224-229 H/842-847 M)
Periode ini diawali dengan meninggalnya khalifah al-Wasiq, sehingga
al-Mutawakkil (847-861 M) naik menjadi khalifah. Dari tahun 247-334 H/861-945 M
adalah masa di mana orang-orang militer Turki memegang kendali atas
khalifah-khalifah yang lemah.[4] Mereka
semula dibawa oleh khalifah al-Mu’tashim dan bermukim di Baghdad. Yang kemudian
bermukim di Samarra sebelah utara Baghdad, yaitu sebuah kota yang dibangun
khalifah al-Mu’tashim khusus untuk mereka.
Beberapa minggu setelah al-Mutawakkil menjadi khalifah, ia langsung membuat
perubahan personalia pemerintahannya yang kebanyakan para jenderal, menteri,
gubernur dsb. berasal dari bangsa Turki. Setelah al-Mutawakkil wafat, para
jenderal yang berasal dari Turki (amir) berhasil mengontrol pemerintahan. Empat
khalifah berikutnya, yaitu al-Muntasir, al-Musta’in, al-Mu’tazz, al-Muhtadi
dianggap lebih sebagai simbol semata daripada kepala pemerintahan yang
efektif. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja,
hanya disebut dalam do'a-do'a di atas mimbar, bertanda tangan di dalam
peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang dinar dan
dirham.[5] Dengan kata lain kekuasaan tidak berada di tangan Bani
Abbas meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.[6] Dan
merekalah yang memilih dan mengangkat khalifah sekehendak mereka.
Penyebab kepemimpinan khalifah Abbasiyah pasca periode pertama dinasti
mengalami kemunduran yaitu karena mayoritas para khalifah adalah orang yang
lemah, suka senang-senang, dan hanya menjadi boneka Turki. Meskipun demikian
ada sebagian khalifah Abbasiyah akhir yaitu al-Mu’tadhid, yang bertanggung
jawab atas kepemimpinannya dan berusaha untuk memajukan Abbasiyah. Oleh
karenanya ada yang mengatakan masa khalifah al-Mu’tadhid disebut masa
kebangkitan kembali dinasti Abbasiyah.
Namun dia tak mampu berkuasa dengan penuh karena banyak kerajaan
yang merdeka serta para gubernur dan pejabat melepaskan diri dari pemerintahan.
Yang tersisa hanyalah mentri yang ambisius dan korup. Dengan demikian mengakibatkan awal kemunduran politik Bani Abbas. Oleh karena itu, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang
politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembangan.[7] Pada periode kedua ini ada
tiga belas khalifah Abbasiyah yang berkuasa saat itu ialah:[8]
a. Al-Mutawakkil (232-247 H/847-861
M)
b. Al-Muntashir (247-248
H/861-862 M)
c. Al-Musta’in (248-252
H/862-866 M)
d. Al-Mu’taz (252-255
H/866-869 M)
e. Al-Muhtadi (255-256
H/869-870 M)
f. Al-Mu’tamid (256-279
H/870-892 M)
g. Al-Mu’tadhid (279-289
H/892-902 M)
h. Al-Muktafi (289-295
H/902-908 M)
i.
Al-Muqtadir (295-320 H/908-932 M)
j.
Al-Qahir (320-322 H/932-934 M)
k. Ar-Radhi (322-329
H/934-940 M)
l.
Al-Muttaqi (329-333 H/940-944 M)
m. Al-Mustakfi (333-334
H/944-945 M).
Khalifah al-Mustakti merupakan khalifah yang menyaksikan pengakhiran
orang-orang Turki dan menyaksikan kemunculan bani Buwaihi. Masa ini dimulai dengan
bangkitnya Bani Buwaihi hingga munculnya Bani Saljuk. Bani Buwaihi cukup kuat
dan berkuasa karena mereka masih menguasai Baghdad, yang merupakan pusat dunia
Islam dan lokasi kediaman khalifah Abbasiyah.
Kekhalifahan Baghdad jatuh sepenuhnya di bawah dominasi para pengawal
mereka yang berasal dari suku bangsa Turki. Untuk menjaga keselamatan khalifah,
diminta bantuan klan Buwaihi. Pada tahun 945 M balatentara Buwaihi memasuki dan
menguasai Baghdad memulihkan keadaan, dan memegang kekuasaan de
facto. Dalam situai seperti ini khalifah al-Mustakfi mengangkat Ahmad
bin Buwaihi, pimpinan laskar Buwaihi yang termasyhur.
Sebagai amir al-umara’ (panglima besar) dengan gelar
kehormatan Mu’izz ad-daulah (yang memperkuat kedaulatan). Tetapi hal ini
ternyata tidak menyelamatkan khalifah, karena tidak lama kemudian Ahmad
membutakan mata khalifah dan menurunkannya dari tahta serta mengangkat al-Muti
sebagai khalifah baru.
Sejak kekuasaan de facto berada di
tangan Buwaihi, khalifah hanyalah sebagai boneka Dinasti Buwaihi.
Orang-orang Buwaihi yang menganut paham Syiah terkesan kurang menghormati
khalifah Abbasiyah yang beraliran paham suni. Pada masa ini Para khalifah
Abbasiyah yang berkuasa saat itu ialah:
a. Al-Mustakfi (333-334
H/944-946 M)
b. Al-Muti’ (334-363
H/946-974 M)
c. Al-Ta’tie (363-381
H/974-992 M)
d. Al-Qadir (381-422
H/992-1031 M)
e. Al-Qaim (422-467
H/1031-1075 M)
Khalifah al-Qaim telah menyaksikan berakhirnya zaman bani Buwaihi dan
menjelangnya kaum Saljuk. Masa ini diawali ketika suku Saljuk mengambil alih
pemerintahan dan mengontrol kekhalifahan Abbasiyah pada tahun 447 H/1055 M.
Suku Saljuk adalah keturunan Saljuq bin Yakak, seorang pemimpin konfederasi
suku-suku Turki yang mengabdi pada salah seorang khan di Turkistan.
Saljuk pindah dari dataran tinggi kirghiz (kazakhstan) bersama seluruh anggota
sukunya ke Jand di Propinsi Bukhara. Di kota ini ia dan seluruh sukunya masuk
Islam. Dua dasawarsa berikutnya. Orang-orang saljuk (yang kemudian dipimpin
oleh tiga orang putra Saljuk: Musa, Mikail dan Arslan; kemudian juga oleh dua
orang putra Mikail yang bernama Tugril Beg Muhammad dan Chaqril Beg Dawud)
menjadi tentara bayaran khalifah dan turut berperang di Transoxiana serta
Khurasan.
Akhirnya, pada tahun 1055 M mereka mengambil alih kekuasaan di Baghdad dan
membuat khalifah di bawah pengaruh mereka. Khalifah hanya memiliki wewenang
dalam bidang keagamaan saja. Para khalifah Bani Abbasiyah saat itu ialah:
a. Al-Qaim (422-467
H/1031-1075 M)
b. Al-Muqtadi (467-487
H/1075-1094 M)
c. Al-Mustazhir (487-512
H/1094-1118 M)
d. Al-Mustarshid (512-529
H/1118-1135 M)
e. Ar-Rasyid (529-530
H/1135-1136 M)
f. Al-Muktafi (530-555
H/1136-1160 M)
g. Al-mustanjid (555-566
H/1160-1170 M)
h. Al-Mustadhi’ (566-575
H/1170-1180 M)
Kemudian pada tahun 590 H. Khalifah An-Nashir berhasil membebaskan diri
dari kaum Saljuk dan mendirikan pemerintahan sendiri di Baghdad dan
kawasan-kawasan di sekitarnya. Inilah akhir periode keempat dan awal periode
kelima.
Khalifah an-Nashir sempat menyaksikan berakhirnya kaum Saljuk dan kemudian
berdiri sendiri memerintah di Baghdad tahun 590 H. Setelah khalifah Abbasiyah
berhasil memerdekakan dirinya dari kerajaan Bani Saljuk dan memerintah di
Baghdad dan kawasan-kawasan di sekitarnya, khalifah dan putra-putranya terus
menikmati kedaulatan dan kemerdekaan yang penuh di kawasan kecil tersebut,
sehingga kaum tartar yang dipimpin oleh Hulaku datang menyerang dan menakluk
dunia Islam serta memusnahkan kota Baghdad, membunuh khalifah dan menamatkan
pemerintahan Abbasiyah pada tahun 656 H. (1258 M).[9] Khalifah-khalifah yang memerintahkan di masa itu adalah:
a.
An-Nashir (575-626 H/1180-1225 M)
b.
Az-zahir (622-623 H/1225-1226 M)
c.
Al-Mustansir (623-640 H/1226-1242 M)
d.
Al-Musta’sim (640-656 H/1242-1258 M)
Sebagaimana terlihat dalam periodesasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua yaitu masa pengaruh turki pertama pada tahun
232-234 H/847-945 M. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu
tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benih sudah terlihat pada periode pertama,
hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak
sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila
khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil,
tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.[10]
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu
sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Kemunduran dinasti Abbasiyah ditandai
dengan adanya pertikaian internal Dinasti Bani Abbas. Sebelum meninggal, Harun
al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota
untuk menjadi khalifah: al-Amin dan al-Ma’mun. Al-Amin diberi hadiah berupa
wilayah bagian barat, sedangkan al-Ma’mun diberi hadiah berupa wilayah bagian
timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M), al-Amin putra mahkota tertua
tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma’mun. Oleh karena itu pertempuran
dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangkan oleh al-Ma’mun.[11]
Setelah perang usai, al-Ma’mun berusaha
menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung
oleh Tahir panglima militer, dan saudaranya sendiri, yaitu al-Mu’tashim.[12]
Sebagai imbalan jasa, Tahir disamping berkedudukan sebagai panglima tertinggi
tentara Bani Abbas, diangkat oleh al-Ma’mun sebagai gubernur Khurasan (820-822
M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan oleh anak-anaknya.[13]
Akhirnya, ketergantungan khalifah kepada Tahir sangat tinggi yang membuat
khalifah tidak dapat mengendalikan tentara secara langsung.[14]
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Bani Abbasiyah pada
periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah daripada
pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional Turki
untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[15]
Khalifah Abbasiyah didirikan bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan terjadi karena dilatar belakangi persamaan nasib kedua golongan
itu pada masa bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah
khalifah Abbasiyah berdiri, dinasti Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan
itu.
Menurut Styzewaka ada dua sebab dinasti Abbas memilih orang-orang persia
dari pada orang-orang arab. Pertama, sulit bagi orang-orang arab untuk
melupakan bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua.
Orang-orang arab sendiri terpecah belah dengan adanya ’ashabiyyah kesukuan.
Dengan demikian, khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan diatas ’Ashabiyah traditional.[16]
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka
menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia juga. Sementara
itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah
darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia
Islam. Dengan demikian, menimbulkan kerusuhan atau pemberontakan antar golongan
yang disebabkan karena rasa fanatisme kesukuan.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan dan dijadikan sistem
perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia dan Turki dijadikan pegawai dan
tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Sistem perbudakan ini
telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan
mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka. Oleh
karenanya, setelah al-Mutawakkil, khalifah yang lemah naik tahta, dominasi
tentara Turki tidak terbendung lagi. Dan sejak saat itu sebenarnya kekuasaan
Bani Abbas sudah berakhir.[17]
Setelah periode pertama khalifah mengalami periode kemunduran,
pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar.
Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah
kekuasaan, ketergantungan pada tentara bayaran, banyaknya terjadi kerusuhan
yang mengganggu perekonomian rakyat, diperingannya pajak dan banyaknya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti.
Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para
khalifah dan para pejabat melakukan korupsi.[18] Kondisi
politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.[19] Sebaliknya,
kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
Kelemahan kedudukan khalifah dinasti Abbasiyah di Bagdad, yang disebabkan
oleh luasnya wilayah kekuasaan yang kurang terkendali, ketergantungan kepada
tentara bayaran, kesulitan ekonomi, dan persoalan politik lainnya, menimbulkan
disintegrasi wilayah yang dikuasai oleh masing-masing penguasa setempat. Para
penguasa ini ketika terjadi ketegangan di dalam kekuasaan istana Bagdad,
mencoba memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah di Bagdad. Adapun diantara
kerajaan-kerajaan Islam yang memisahkan diri dari kekuasaan Abbasiyah adalah:[20]
a.
Dinasti Umayyah di Andalusia
b. Dinasti Idrisiyah di
Maroko
c. Dinasti Aghlabiyyah
(184-296 H / 800-909M)
d. Dinasti Thukuniyyah
(254-292 H / 868-905 M)
e. Dinasti Ikhsyidi (323-358
H / 935- 969 M)
f. Dinasti Hamdaniyah
(293-394 H / 905-1004 M)
g.
Dinasti Thahiriyah (205-259 H/ 821-873 M)
Munculnya gerakan zindiq yang bermula dengan polemik ajaran hingga ke
konflik bersenjata. Dimana ketika gerakan itu sudah tersudut, pendukungnya
banyak yang berlindung di balik ajaran Syi’ah, sehingga banyak aliran Syi’ah
yang dipandang ghulat (ekstrem). Hingga al-Mutawakkil memerintahkan agar
makan Husein di Karbela dihancurkan. Namun anaknya, al-Munthasir, kembali
memperkenankan orang Syiah untuk menziarahi makam Husein tersebut.[21] Polemik
agama juga kembali dipertajam oleh al-Ma’mun yang menjadikan Mu’tazilah sebagai
madzhab resmi negara dan minhah.
7.
Ancaman dari luar
a.
Perang salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode yang menelan
banyak korban.
b.
Serangan tentara Mongol dan Tartar.
Puncak khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur adalah penyerbuan
bangsa mongol dan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Baghdad hancur luluh
dan pasukan Mongol pergi dengan membawa sebanyak mungkin harta rampasan perang.
Ini adalah Tragedi peradaban dan kemanusiaan Dinasti Abbassiyah, sebuah dinasti
yang pernah mencapai zaman keemasannya.[22]
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa perkembangan Islam Bani Abbasiyah
pasca masa keemasan dimulai dari periode kedua (pengaruh Turki pertama),
periode ketiga (pengaruh Persia kedua, yaitu kekuasaan dinasti Buwaih), periode
keempat (pengaruh Turki kedua, yaitu kekuasaan dinasti Saljuk), dan periode
kelima (bebas dari pengaruh dinasti lain). Sehingga walaupun pemegang kekhalifahan adalah Bani Abbasiyah
tetapi kekuasaan berada di tangan ketiga kekuatan itu.
Kemunduran dinasti Abbasiyah dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya yaitu, perpecahan internal, kemewahan hidup dikalangan
penguasa, fanatisme kebangsaan, kemerosostan ekonomi, timbulnya
kerajaan-kerajaan yang bebas dari kekuasaan bani Abbas, konflik agama, dan
ancaman dari luar.
Demikian makalah ini dibuat. Disampaikan terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Disadari
bahwa makalah ini kurang sempurna, maka dari itu kritik dan saran dari pembaca
sangat dibutuhkan untuk perbaikan selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Aen, Nurul.
2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Al-Usairy,
Ahmad. 2003. Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam hingga Abad XX. Jakarta:
Akbar Turki Media.
As-Suyuti,
Imam. 2009. Tarikh Khulafa’. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Lubis, Nur
Ahmad Fadhil. 2005. Ensikolopedi Tematis Dunia Islam Khilafah. Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve.
Maryam,
Siti, dkk.. 2003. Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern. Yogyakarta:
UIN Sunan Kalijaga.
Mubarok,
Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.
Muradi.
1997. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Toha Putra.
Supriyadi,
Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV Pustaka Setia.
Syalabi,
Mubarok. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: PT Al-Husna Zikra.
Yatim,
Badri. 1994. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 1994), Hlm. 62.
[2] Bojena Gajane Stryzewska, Tarikh al-Daulat al-Islamiyah, (Beirut:
al-Maktub al-Tijari), hlm. 360.
[4]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam Sejak
Zaman Nabi Adam hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Turki Media,
2003), hlm. 248.
[11] Menurut sejarawan, orang-orang Arab mendukung al-Amin, sedangkan
orang-orang Persia mendukung al-Ma’mun. Jadi, persaingan antara al-Amin dengan
al-Ma’mun sebenarnya adalah persaingan antara suku Arab dan suku Persia. Lihat
D. S Margolieuth, Umayads and Abbasids, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1978),
hlm. 203.
[12] Siti Maryam, dkk. (ed.), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik
hingga Modern, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2003), hlm. 123.
[17] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 81.
[18]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 82.
[22] Nur Ahmad Fadhil Lubis, Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
2005), hlm. 111.
No comments:
Post a Comment